EKBIS.CO, JAKARTA -- Rencana pemerintah Singapura yang akan menerapkan kebijakan kemasan polos produk rokok atau plain packaging mengancam industri hasil tembakau Indonesia. Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia Budidoyo mengatakan, kebijakan tersebut dapat mematikan industri rokok di dalam negeri dan dapat menurunkan kinerja ekspor rokok.
"Yang dikhawatirkan ketika pemberlakuan plain packaging merembet ke negara-negara lain, sehingga nantinya dapat mematikan industri rokok di dalam negeri," ujar Budidoyo di Jakarta, Rabu (1/7).
Budidoyo mengatakan, gejala penurunan industri hasil tembakau sebenarnya sudah terlihat sejak adanya penerapan Framework Convention on Tobacco Control (FTCT). Menurutnya, akibat penerapan aturan tersebut industri hasil tembakau di sejumlah daerah sudah mulai merumahkan karyawannya, dan ini sudah terjadi sejak 2013. Sebagian besar yang terkena dampak adalah industri skala kecil dan menengah yang terdapat di Jember, Malang, Kediri, Lumajang, dan Kudus.
"Industri hasil tembakau punya multiplier effect yang besar dari hulu sampai hilir, dan satu mesin pembuat rokok setara dengan penyerapan 4500 pekerja," kata Budidoyo.
Industri hasil tembakau skala kecil dan menengah sampai dengan 2010 jumlahnya masih sekitar tiga ribu unit. Namun, saat ini jumlah yang tersisa hanya sekitar 400 unit usaha. Budidoyo mengatakan, industri hasil tembakau di Indonesia sebenarnya sudah mulai terpukul sejak adanya regulasi larangan ekspor rokok kretek ke Amerika Serikat. Padahal, sebagian besar produksi industri hasil tembakau di Indonesia adalah rokok kretek.
"Industri tembakau butuh regulasi yang komprehensif, adil, dan berimbang, apalagi kita penyumbang cukai terbesar ke negara," ujar Budidoyo.
Selain itu, rencana kebijakan kemasan rokok polos diperkirakan dapat menurunkan kinerja ekspor mencapai enam persen. Memang, antara 2012 sampai 2014 ekspor rokok masih naik secara signifikan tapi mulai melemah. Pada 2014 total ekspor tercatat sebesar 1,25 miliar dolar AS.