EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mencatat perlambatan pada pertumbuhan Utang Luar Negeri (ULN) terutama sektor swasta pada Juli 2015. Meskipun porsi ULN swasta masih 55,7 persen dari total ULN.
Pada Juli 2015, ULN sektor swasta tercatat sebesar 169,2 miliar dolar AS. ULN sektor swasta tumbuh 6,7 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 9,7 persen (yoy). Pelambatan tersebut terutama dipengaruhi turunnya utang dagang.
Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia Hendy Sulistyowati mengatakan, utang luar negeri swasta lebih banyak daripada pemerintah karena peran swasta yang besar dalam pembangunan. Sehingga perlu pembiayaan yang tidak bisa disediakan semuanya dari dalam negeri.
"ULN semuanya melambat, kalau dilihat semua melambat karena pertumbuhan ekonomi yang melambat. Utang swasta tergantung rencana kerja, sangat dipengaruhi pertumbuhan PDB dan proyeksi pertumbuhan ekonomi kedepan," jelasnya dalam diskusi bareng media di gedung Bank Indonesia Jakarta, Jumat (18/9).
ULN sektor swasta yang dominan adalah loan agreement sebesar 110,3 miliar dolar AS atau 65 persen dari total ULN swasta. Disusul surat utang sebesar 33,1 miliar dolar AS atau 20 persen dari total ULN swasta, kemudian utang dagang sebesar 7,1 miliar dolar AS (4 persen), serta lainnya sebesar 17,0 miliar dolar AS (10 persen) dan lainnya sebesar 2,0 miliar dolar AS (1 persen).
Menurut dia, meskipun utang Indonesia besar, yang dominan jangka panjang mencapai 81,4 persen dan jangka pendek 18,6 persen dari total ULN.
Kondisi tersebut dinilai tidak terlalu buruk karena yang dominan jangka pangjang. Utang jangka pendek tumbuh negatif, menurun terus sejak November 2014, sedangkan jangka panjang masih positif.
ULN jangka pendek pemerintah turun, karena banyak capital outflow. ULN Swasta jangka pendek sedikit meningkat dari 46,9 miliar dolar AS menjadi 47,8 miliar dolar AS.
Rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 34,4 persen. Sedangkan Debt Service Rasio (DSR) meningkat menjadi 51,2 persen, karena penurunan ekspor Indonesia dan penurunan cadangan devisa.