EKBIS.CO, JAKARTA -- Industri rokok diyakini tidak terlalu merasakan dampak dari pelemahan ekonomi Indonesia. Pasalnya seberapa pun harga rokok dinaikkan, tidak akan membuat jumlah perokok berkurang.
“Industri rokok berbeda dengan industri lain, orang tidak akan berhenti merokok sebelum dia sakit, bukan karena harganya naik,” ujar mantan Ketua Himpunan Petani Pengusaha Tembakau Virginia Indonesia, Soemitro Samadikoen kepada Republika.co.id, Rabu (7/10).
Industri rokok berbeda dengan industri garmen yang terpengaruh oleh daya beli masyarakat. Semahal apapun harga rokok, pasto akan dibeli karena tidak ada barang pengganti (substitusi)nya.
“Kalau baju mungkin akan berubah, misalnya karena ada pelemahan ekonomi maka masyarakat akan memilih baju yang harganya murah atau malah menggunakan baju yang ada saja,” ucap pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Dampak pelemahan ekonomi terhadap industri rokok mungkin ada, tapi tidak sebesar industri lain.
Soemitro mengatakan perusahaan rokok jangan selalu mengambil untung. Perusahaan harus menjaga kontinuitas pekerja atau buruh yang bekerja di sana. “Hitung-hitungannya jangan kuantitatif melulu, sekali-kali berkorbanlah untuk negara. Jangan sedikit-sedikit lakukan PHK,” ujarnya.
Seandainya mau mengurangi untungnya, perusahaan rokok akan tetap bisa menjalankan bisnisnya. Toh para perokok tidak akan membeli rokok meski daya beli sedang menurun.
Malah kalau perlu industri rokok turut membantu pemerintah menyelesaikan masalah PHK ini. Soemitro menyebut pemerintah memerlukan dukungan semua pihak untuk mengatasi persoalan PHK. Adakalanya industri rokok mengambil keuntungan lebih sedikit dari biasanya.
Permasalahannya, kata dia, industri rokok selalu menggunakan rumus ‘selalu untung’ dalam menjalankan bisnisnya. “Apa mereka pikir petani tembakau selalu untung, terkadang ada ruginya juga,” ucap Soemitro.