EKBIS.CO, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) yang saat ini sedang dibahas di DPR akan memersulit pengajuan dana talangan dari pemerintah oleh bank yang merugi. Hal ini untuk memastikan tidak ada lagi pameo saat bank untuk pemodal yang menikmati, tapi ketika bank merugi, pemerintah yang akan menanggung.
Anggota Komisi XI DPR dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Andreas Eddy Susetyo mengatakan, Indonesia telah memiliki pengalaman pahit terkait bailout yang selama ini dilakukan untuk menyelamatkan institusi perbankan. Dalam memberikan bailout, pemerintah dihadapkan pada masalah hukum dan politik. “Dengan RUU JPSK ini, kebijakan yang dilakukan harus steril dari permasalahan hukum dan politik,” kata Andreas dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (29/11).
Menurut Andreas, penyelesaian masalah sistem keuangan jika perekonomian berada dalam kondisi tidak normal seharusnya tidak memberikan preferensi untuk SIB (Systemic Importance Bank) serta tidak merekomendasikan dana publik dalam penyelesaiannya. Namun, harus menekankan pada ‘bail-in’ atau ‘self-insured’ yang dilakukan pemilik lembaga keuangan atau kreditur itu sendiri yaitu, dengan sejak awal melakukan recovery dan resolution planning yang diawasi secara ketat oleh otoritas lembaga keuangan. Artinya, JPSK tidak memberikan harapan dana talangan tersedia untuk menghindari motif moral hazard pelaku industri keuangan.
“Karena itu RUU JPSK 2015, harus berpegang pada prinsip dasar memerkuat arsitektur otoritas pengawas lembaga keuangan,” kata Andreas.
Lembaga keuangan yang dimaksud, kata Andreas, adalah Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), LPS, dan Kementerian Keuangan. Penguatan tersebut terutama untuk pencegahan dan melindungi dana publik, serta memerkuat tata kelola dan akuntabilitas.