EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (AspekPIR) Setiyono menyebut, petani sawit tidak mendapatkan sosialisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk biaya replanting (penanaman kembali). Oleh karena itu anggotanya belum ada yang mengajukan KUR untuk kegiatan tersebut.
Pendanaan untuk peremajaan sawit lebih banyak mengandalkan uang tabungan atau melakukan kemitraan dengan perusahaan. "Tidak semua petani mengalami kesulitan pendanaan untuk penanaman ulang sawit, tapi petani swadaya yang jumlahnya juga tidak sedikit yang sering kesulitan," kata dia kepada Republika, Kamis (3/12).
Secara nasional telah ditetapkan aturan replanting yaitu Rp 51 juta per hektare. Tapi sebenarnya petani dapat menekan biaya tersebut tanpa mengurangi kualitas penanaman.
Ia mengamini, sawit plasma harus segera replanting karena usianya sudah tua. Tapi ketika petani ingin melakukan penanaman kembali secara mandiri, ia khawatir kualitasnya tidak diakui. Oleh karena itu replanting pun bergantung pada perusahaan inti.
Petani plasma sawit juga kerap tidak leluasa memanfaatkan lahan. "Kita inginnya bisa menanam sembari tumpang sari, tapi tidak bisa karena harus taat aturan perusahaan inti," lanjutnya.
Tanaman tumpang sari bisa diusahakan untuk menambah pemasukan petani ketika masa peremajaan. Lahan bisa ditanami kedelai, jagung atau yang lainnya mrnyesuaikan kondisi lahan dan wilayah.
Ia pun meminta agar pemerintah memberikan dukungan berupa regulasi agar petani sawit plasma lebih leluasa memanfaatkan lahan dan melaksanakan penanaman ulang. Sebab itu akan berguna ketika petani ingin mengajukan KUR dengan skema pembayaran kredit bulanan.
Setiyono menyambut baik usulan pemerintah yang kabarnya ingin merancang skema KUR khusus tanaman perkebunan. Itu berguna agar petani memeroleh keringanan angsuran dengan tenggang waktu menyesuaikan pola produksi.