EKBIS.CO, JAKARTA -- Rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan menuai kritik dari Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU). Kebijakan ini berpotensi menambah beban bagi kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sekretaris Jenderal SUMU Ghufron Mustaqim meminta agar rencana kebijakan yang efektif mulai tahun 2025 itu dibatalkan. Bila opsi pembatalan tidak diambil, SUMU mendesak pemerintah agar mengimbangi kenaikan tarif PPN dengan sejumlah kebijakan afirmatif yang mendukung daya saing UMKM. Sebab, tegas dia, UMKM adalah tulang punggung perekonomian nasional.
"Kami mengusulkan tiga paket kebijakan afirmasi penguatan UMKM yang bisa dijalankan," ujar Ghufron Mustaqim, Selasa (19/11/2024).
Pertama, menaikkan ambang batas (threshold) Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari pendapatan per tahun Rp 4,8 miliar ke Rp 15 miliar. Hal ini mengacu pada batas atas kriteria Usaha Kecil berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021.
Sebab, lanjut Ghufron, sudah lebih dari 10 tahun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pengusaha Kena Pajak (PKP) belum diperbarui. PMK Nomor 197/PMK.03/2013 mengatur, pengusaha dan atau perusahaan yang memiliki pendapatan atau omset senilai lebih dari Rp 4,8 miliar wajib dikukuhkan sebagai PKP.
Implikasinya, PKP juga akan dikenakan PPN, yang saat ini tarifnya 11 persen dan per Januari 2025 nanti naik menjadi 12 persen. Mereka tidak lagi bisa mengeklaim PPh Final 0,5 persen dari pendapatan, sebagaimana PPh Final UMKM menurut PP Nomor 23/2018.
"PKP dikenakan tarif PPh 22 persen berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2020 Pasal 5 ayat 1," kata Ghufron.