EKBIS.CO, TASIKMALAYA -- Bank Indonesia (BI) kembali gelar Forum Komunikasi dan Koordinasi Pimpinan Daerah se-Priangan Timur. Deputi Gubernur BI, Hendar berharap, forum yang digelar sejak 2013 tersebut, mampu mendorong komunikasi, koordinasi, dan perekonomian antar daerah di wilayah Priangan Timur yang meliputi Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran.
"Bentuk sinergi ini menjadi penting dan sangat relevan dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi perekonomian nasional maupun daerah baik saat Ini maupun ke depan," katanya, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya, Senin (7/12).
Di pengujung 2015, ia nilai, menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan kembali sejumlah tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia dan sejumlah risiko yang perlu disikapi dengan baik bagi pengambilan kebijakan ekonomi di tahun mendatang.
"Pentingnya kerjasama antar daerah dalam pengendalian inflasi daerah, mendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkualitas menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)," lanjutnya.
Ssbagai bagian perekonomian terbuka yang tidak lepas dari pengaruh kondisi global, dari sisi eksternal, ia mencatat setidaknya ada 3 tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia saat ini.
"Pertama, pemulihan ekonomi global belum berlangsung secara merata. Di satu sisi di negara-negara maju (advanced countries), perekonomian Amerika Serikat terus menunjukkan perbaikan, ditopang oleh membaiknya sektor tenaga kerja dan menguatnya permintaan konsumsi," kata Hendar.
Ia menambahkan, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan membaik dengan terjaganya inflasi di level rendah. Ekonomi Eropa juga berangsur membaik didorong oleh kuatnya permintaan domestik dan sektor manufaktur, dan disertai tingkat pengangguran yang menurun.
Sedangkan kinerja ekonomi Jepang masih lemah dengan perbaikan tingkat pengangguran yang belum stabil, dan perkembangan gaji tenaga kerja yang menurun.
Sementara di sisi emerging markets, perekonomian Cina yang sebelumnya mampu tumbuh dua digit dalam satu dekade terakhir kini melambat signifikan hingga di bawah 7 persen.
"Kedua, terjadinya divergensi kebijakan moneter di dunia yang berdampak pada semakin tingginya tekanan dan volalitas nilai tukar," ucap dia. Berkaitan dengan pemulihan ekonomi global yang belum merata, hal ini memicu terjadinya divergensi respon kebijakan moneter di negara-negara utama duinia.
Ketiga adalah penurunan harga komoditas dunia. Menurunnya harga komoditas global dipengaruhi oleh rendahnya permintaan dunia, lanjut Hendar, sejalan dengan ekonomi yang semakin bergantung pada konsumsi domestik. Hal ini juga tidak terlepas dari pelemahan ekonomi Tiongkok sebagai konsumen komoditas SDA terbesar dunia yang berdampak pada merosotnya harga komoditas di pasar global.
"Tekanan yang cukup besar muncul kepada negara berkembang yang bergantung pada komoditas SDA, termasuk Indonesia dengan 56,3 persen dari total produk ekspornya masih berupa komoditas SDA," Hendar menegaskan.