EKBIS.CO, JAKARTA -- Berita buruk soal kinerja perusahaan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc tidak membuat harapan penjualan saham PT Freeport Indonesia di Bursa Efek Indonesia (BEI) surut. Namun, penilaian atas perusahaan itu dinilai harus lebih dalam sebelum keputusan untuk pencatatan saham perdana atau IPO diberikan.
Di lantai bursa AS, harga saham induk perusahaan yag berada di AS itu turun hingga 8,1 persen menjadi 6,95 dolar AS per lembar. Perusahaan induk yang mengoperasikan tambang emas di Papua itu juga sudah mengumumkan rencana efisiensi besar-besaran, termasuk melakukan pemotongan belanja, produksi, dan tenaga kerja.
Pengamat Pasar Modal dari IPMI International Business School Roy Sembel mengatakan saat suatu perusahaan akan melakukan IPO, perusahaan itu sebelumnya dinilai ulang dengan independen berdasarkan situasi terakhirnya. "Ini akan jadi pertimbangan mengenai valuasi perusahaan, premarketing, nanti berdasakan feedback dari pasar apakah over value atau under value," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (29/12).
Sebelumnya, wacana masuknya Freeport ke pasar saham domestik dinilai akan meningktakan besaran kapitalisasi pasar. Namun, dengan semakin menurunnya kinerja perusahaan itu saat ini yang berujung pada mundurnya Direktur Utama Freeport McMoran James Moffett, penilaian perusahaan ini harus lebih dilakukan secara mendalam. Freeport Indonesia diwajibkan melakukan divestasi saham. Selain dijual ke pemerintah Indonesia, divestasi saham tersebut dinilai bisa dilakukan lewat IPO di BEI.
Meski menurut Roy, hal ini tidak berarti menutup kemungkinan bagi perusahaan untuk IPO selama alasan untuk IPO diuraikan secara jelas.
"Untung rugi tergantung minat pasar, ini bisa dibatalkan dan ditunda," ujarnya.
Layak atau tidak layaknya Freeport masuk ke bursa saat ini dinilai sulit ditentukan. Hal ini karena, sejauh ini banyak perusahaan yang awalnya berkinerja buruk, meningkat menjadi baik dalam beberapa periode terakhir, dan begitu juga sebaliknya.
"Akan ada penyesuaiaan dan penetapan harga terakhir, yang jelas secara administrasi persyaratan perusahaan ini harus oke dulu," ungkap Roy.
Mengenai minat pasar, peluang ini dinilai masih besar mengingat induk perusahaan sudah lebih dulu bernama besar dan telah masuk di bursa saham New York (NYSE). Namun, ia melihat beberapa kondisi saat ini masih akan menjadi pertimbangan calon investor seperti pasar pertambangan dalam negeri dan dunia yang sedang tak baik. Harga komoditas juga sedang tidak menarik untuk investasi.
"Kinerja perusahaan dalam dua tahun terakhir menurun. Di Indonesia ada larangan juga untuk tidak mengekspor barang mentah. Hal-hal ini bisa jadi pertimbangan," tuturnya.