Jumat 15 Jan 2016 17:06 WIB

Penawaran Saham Freeport Dinilai Terlalu Mahal

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
 Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.
Foto: Reuters/Stringer
Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Nilai saham yang ditawarkan oleh PT Freeport Indonesia dinilai terlampau tinggi. Freeport menawarkan sahamnya kepada pemerintah 10,64 persen pada Kamis (14/1) lalu dengan harga 1,7 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 23,5 triliun, dari total valuasi aset yang dilaporkan kepada pemerintah sebesar 16,2 miliar dolar AS atau Rp 224,7 triliun.

Ketua Working Group Kebijakan Publik Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Budi Santoso mengungkapkan, berdasarkan perkirannya nilai total aset Freeport mestinya sekitar 11,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 161,4 triliun, jauh lebih rendah dari valuasi yang diajukan oleh Freeport kepada pemerintah.

Budi mengungkapkan, menghitung nilai yang ditawarkan oleh Freeport tidak boleh melebihi sisa periode izin yang masih ada. Berdasarkan data yang diperoleh dari PT Freeport Indonesia, didapat nilai aset Freeport secara keseluruhan mencapai 9,1 miliar dolar AS pada tahun 2014. Selain itu, diperoleh pula net profit sepanjang 2014 sebesar 500 juta dolar AS, lebih rendah dibanding laba Freeport pada 2013 sebesar 784 miliar dolar AS. Dari data tersebut, Budi melanjutkan, dengan mengasumsikan laba per tahunnya 500 juta dolar AS sampai 2021, maka bisa didapat angka total 11,6 miliar dolar AS.

"Nah itu pun belum dimasukkan namanya risiko dan lainnya. Padahal harga komoditas juga menurun, pasti keutungan Freeport ke depan juga menurun per tahunnya. Jadi, total nilai 16,2 miliar dolar (AS) itu angka dari mana?" ujar Budi, Jumat (15/1).

Budi juga mengingatkan pemerintah untuk menimbang untung rugi penawaran saham yang diajukan Freeport. Budi menilai, lebih baik menunggu hingga kontrak karya habis pada 2021 sehingga kepemilikan tambang Freeport akan jatuh ke tangan negara, dibanding dengan membeli saham saat ini dengan porsi valuasi yang terlampu mahal. Sejumlah risiko, kata dia, dihadapi Indonesia apabila pemerintah gegabah dalam melakukan evaluasi terhadap saham Freeport. Harga komoditas yang terus anjlok dan isu lingkungan yang mendera Freeport dinilai Budi sebagai risiko yang harus dipikirkan pemerintah.

Meski begitu, Budi mendukung pemerintah apabila nantinya masih ada ruang negosiasi bagi Freeport dan pemerintah terkait harga penawaran saham sebelumnya. Ia menilai, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa menjadi opsi yang baik utnuk mengambil alih saham Freeport. Dengan begitu, katanya, BUMN bisa berperan dalam manajemen untuk menentukan arah kebiajakn ke depan yang lebih menguntungkan Indonesia.

Sementara itu, Menteri BUMN Rini Soemarno mengaku belum bisa berkomentar banyak terkait pengajuan Freeport untuk saham senilai 1,7 miliar dolar AS. Rini mengatakan, pihaknya akan menganalisis penawaran tersebut termasuk dari segi harga tembaga saat ini yang menurun, serta cadangan tembaga, emas serta mineral turunan yang masih ada di wilayah kerja pertambangan Freeport. Evaluasi pemerintah ini akan dilakukan maksimal 60 hari setelah penawaran saham oleh Freeport dengan melibatkan sejumlah unsur teknis terkait seperti Kementerian Keuangan, Kemenetrian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kementerian BUMN. Pemerintah juga berencana mengundang penilai independen nantinya.

"Seoptimal mungkin. Freeport adalah tambang yang besar. Kalau kita bisa punya 20 sampai 30 persen saham di sana kan hal yang baik," kata Rini.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement