EKBIS.CO, JAKARTA -- Lewat sepekan uji coba kebijakan plastik berbayar diberlakukan, Ketua Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLH) Thio Setiowekti meminta agar pemerintah segera melakukan penyempurnaan. Ia melihat, harga yang dikenakan untuk membeli plastik terlalu murah sehingga membuat konsumen memilih membeli plastik dari pada membawa kantong belanja.
"Harga Rp 200 itu seperti uang kembalian yang bisa dipasrahkan untuk donasi, jadi khawatir tidak efektif kalau tujuannya ingin mengurangi konsumsi plastik," kata dia, Jumat (4/3). Seharusnya plastik dibandrol dengan harga mahal, misalnya Rp 1.500-Rp 2.000.
Tujuannya agar masyarakat memperioritaskan kantong belanja ketimbang menggunakan plastik. Nantinya, dana hasil pembelian plastik mahal yang terkumpul dialokasikan untuk program-program daur ulang. Seluruh kegiatan harus berada di bawah pengawasan dan aturan pemerintah.
Ia juga menyoroti ketidakadilan kebijakan plastik berbayar yang hanya dibebankan pada konsumen saja. Padahal, pengguna plastik lebih banyak dilakukan di sektor hulu, yakni perusahaan-perusahaan yang mengemas barang dagangannya. Seharusnya pemerintah juga menerapkan kebijakan plastik berbayar di sektor hulu.
Misalnya, tarif tinggi dikenakan bagi perusahaan yang menggunakan plastik untuk bahan baku kemasan. Dengan begitu, perusahaan dan industri akan berpikir untuk mencari alternatif kemasan lain, misalnya menggunakan bahan baku kemadan yang mudah diurai. "Ada daun pisang, kemasan dari bambu, dan banyak lagi, dengan eknologi tertentu, dia bisa jadi kemasan ramah lingkungan," lanjutnya.
Ia menekankan, kebijakan kantong plastik berbayar tidak bisa parsial. Harus menyeluruh jika ingin mengubah budsya masyarakat. Jika nantinya kebijakan tersebut berdampak kerugian bagi produsen plastik, hal tersebut merupakan konsekuensi dari suatu kebijakan.