EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) meminta pemerintah memperjelas aturan mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) batubara. Aturan yang ada dalam beberapa tahun terakhir ini dinilai membuat pengusaha kebingungan.
Direktur Eksekutif APBI Supriatna Suhala mengatakan ada inkonsistensi mengenai aturan PPN batubara, terutama setelah munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000.
Supriatna menjelaskan, PP tersebut menyatakan batubara tidak masuk dalam kategori Barang Kena Pajak (BKP). Namun, dalam kontrak perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi III, menyatakan batubara termasuk BKP.
"Setelah adanya PP itu, maka pembeli batubara tidak dikenakan pajak. Namun, ini bertentangan dengan bunyi kontrak PKP2B Generasi III," kata Supriatna melalui keterangan pers.
Supriatna menuturkan, status BKP besar pengaruhnya terhadap pengenaan PPN. Dia menjelaskan, PKP2B Generasi III dikenakan PPN dari pihak ketiga yang memasok kebutuhan produksi. Kemudian pelaku usaha memasukkan komponen pajak 10 persen tersebut terhadap produksi batubara yang dijual.
Selisih PPN dari pihak ketiga dan PPN dari pembeli batubara menjadi hak pelaku usaha melalui mekanisme restitusi. Dia mengungkapkan nilai PPn dari pembeli lebih rendah dibandingkan nilai PPn pihak ketiga meski sama-sama sebesar 10 persen.
"PPN itu kan sebenarnya diambil dari nilai tambah batu bara. PPN penjualan ini kan enggak besar. Makanya kategori BKP penting artinya," ujarnya.
Dia mengungkapkan, persoalan ini pun berbuntut pada penanganan upaya restitusi pajak yang diajukan pelaku usaha. Ada kantor pajak yang mengabulkan restitusi dan ada juga yang tidak. Malahan, kata dia, persoalan restitusi PPN justru dibawa ke pengadilan pajak. "Kami minta pemerintah segera menyelesaikan masalah PPN ini," ujarnya.
Baca juga: Sejarah Hari Ini: Sang 'Ratu Perawan' Meninggal Dunia