Rabu 30 Mar 2016 09:00 WIB

Pengurangan Dwelling Time tak Jamin Harga Logistik Murah

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ani Nursalikah
Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (18/2).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (18/2).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Sekjen Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Akbar Johan mengatakan, paket kebijakan dwelling time atau waktu tunggu pelayanan kapal dan barang (bongkar muat) bukan satu-satunya cara untuk menurunkan biaya logistik di Indonesia.

Dwelling time hanya berkontribusi sebesar 10 persen terhadap tingginya biaya logistik di Indonesia.

"Ada hal yang lebih penting, yakni balance cargo antarpulau. Jangan sampai harga semen di Jawa berbeda jauh dengan harga semen di Papua," ujar Akbar kepada Republika.co.id, Rabu (30/3).

Akbar menjelaskan, dengan adanya keseimbangan kargo, dapat menghindari inflasi dan mengurangi ketidakseimbangan harga antarpulau. Istilah Indonesian single risk management dalam paket kebijakan XI sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Indonesian single window yang sudah diterapkan pemerintah. Menurut dia, kedua hal tersebut sama-sama bertujuan untuk menghilangkan ego sektoral antarkementerian/lembaga.

Akbar mengatakan, dengan Indonesian single window, sebenarnya sudah cukup untuk mengurangi waktu tunggu. Namun,  transparansinya harus jelas serta harus ada reward dan punishment yang berlaku.

"Pemerintah sebaiknya menghindari kebijakan panik. Tujuannya memang ke logistik murah, tapi kalau produktivitasnya terganggu, maka tidak akan tercapai," kata Akbar.

Selain itu, hal lain yang membuat biaya logistik mahal, yakni diberlakukannya tarif progresif penimbunan kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok sebesar 900 persen mulai 1 Maret 2016. Menurut Akbar, pekerjaan bongkar muat peti kemas oleh Pelindo memakan waktu 4-5 jam. Sedangkan, rata-rata waktu kedatangan kapal pukul 10.00-11.00 malam dan lewat pukul 12.00 malam sudah dikenakan tarif progresif.

"Tidak mungkin kami mau menyelesaikan pengeluaran kontainer kurang dari dua jam kalau hulu dan hilirnya belum dibenahi," ujar Akbar.

Akbar menambahkan, kebijakan yang dibuat pemerintah sebaiknya juga memikirkan industri jasa logistik skala kecil dan menengah. Industri skala kecil dan menengah paling terkena dampak dari mahalnya biaya logistik di Indonesia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement