EKBIS.CO, MELBOURNE -- Eksportir batu bara terbesar di dunia, BHP Billiton, akhirnya resmi mengumumkan status proyek batu bara mereka di Indonesia. BHP Billiton kini sedang mempertimbangkan untuk menghentikan operasinya di Indonesia. Langkah tersebut diambil lantaran sejumlah alasan, antara lain, ketidakpastian peraturan di Tanah Air serta lemahnya prospek batu bara.
“BHP Billiton sedang melakukan tinjauan strategis terkait keterlibatan IndoMet Coal dalam tujuh proyek batu bara di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur,” tulis perseroan dalam laporan kuartal I 2016, seperti dilansir dari Reuters, Rabu (20/4). Namun, sang juru bicara yang enggan disebut namanya menolak berkomentar apakah perusahaan tersebut telah memasuki pembicaraan dengan pembeli potensial untuk saham yang tidak sedikit itu.
Pernyataan resmi BHP Billiton tersebut seperti mengonfirmasi kabar yang beredar dalam beberapa waktu terakhir bahwa BHP akan melepas seluruh sahamnya di PT IndoMet Coal (IMC). Saat ini, BHP Billiton menguasai 75 persen saham PT IMC, sisanya dimiliki PT Adaro Energy Tbk. PT IMC memang memegang tujuh konsesi PKP2B proyek batu bara di Kalimantan, yakni PT Lahai Coal, PT Ratah Coal, PT Juloi Coal, PT Pari Coal, PT Sumber Barito Coal, PT Kalteng Coal dan PT Maruwai Coal. Sebagian besar mereka menambang batu bara jenis metallurgical coal. Melakukan eksplorasi sejak tahun 1997, IMC baru melakukan penjualan komersial batu bara perdana pada September 2015 lalu.
Apabila BHP Billiton benar-benar mau hengkang dari Indonesia, ini bisa menjadi sebuah kabar tak sedap. Hal ini mengingat kontribusi BHP di Indonesia masih sangat minim. Selama 20 tahun memegang konsesi tujuh proyek pertambangan, BHP Billiton baru menggelontorkan investasi 100 juta dolar AS di PT Lahai Coal yang berlokasi di Haju, Kalimantan. Sementara di enam proyek lainnya masih belum bisa menghasilkan.
“Hingga saat ini kami telah mengembangkan proyek tambang batu bara di Haju dalam skala kecil dengan nilai investasi sekitar 100 juta dolar AS, sementara seluruh proyek lainnya baru sebatas eksplorasi,” kata Presiden Direktur PT IMC Imelda Adhisaputra. Imelda enggan mengomentari lebih lanjut tentang kabar rencana BHP Billiton akan melepas saham di PT IMC.
Meski baru melakukan sekali pengiriman produksi batu bara pada September 2015 lalu, menurut analis, BHP Billiton sebenarnya sudah berpotensi mendapat keuntungan 200 juta dolar AS dari investasinya di IMC. Sebab, sebelumnya pada 2010, BHP telah melepas 25 persen saham IMC ke Adaro senilai 335 juta dolar AS. Artinya, dari hasil transaksi tersebut, BHP telah berpotensi untung hingga 200 juta dolar AS dengan mempertimbangkan investasi yang telah mereka keluarkan hanya sebesar 100 juta dolar AS.
“Apakah langkah ini cepat bagi BHP Billiton? Tidak. Tapi, ini menjadi kesempatan yang luar biasa bagi perusahaan Indonesia dengan koneksi yang tepat,” kata analis Shaw and Partners Peter O' Connor.
Kendati BHP Billiton telah mengumumkan resmi tengah mempertimbangkan untuk menjual sahamnya di IMC, namun hingga kini BHP belum melaporkan resmi kepada Pemerintah Indonesia. Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM Agung Pribadi menyatakan, sebagai perusahaan global yang beroperasi di Indonesia, seharusnya BHP Billiton melaporkan rencana aksi korporasi mereka kepada pemerintah, termasuk saat hendak menghentikan kegiatan produksi.
Agung melanjutkan, proses divestasi saham perusahaan tambang asing di Indonesia seharusnya mengacu kepada proses divestasi yang dilakukan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Hal itulah yang dilakukan pemilik Medco, Arifin Panigoro, yang melaporkan pembelian saham NNT kepada Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber Daya pada November 2015 lalu. Sementara, para pihak yang akan melakukan proses transaksi, melaporkannya kepada pemerintah.
Anggota Komisi VII DPR yang menangani bidang pertambangan, Kurtubi, menyatakan, proses divestasi saham Newmont bisa menjadi preseden ideal serta studi kasus menarik dalam kasus divestasi perusahaan tambang yang ada di Indonesia.
Direktur Eksekutif Energi Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan, idealnya memang perusahaan asing seperti NNT dan BHP Billiton yang akan melakukan penjualan saham di Indonesia harus melapor terlebih dulu ke pemerintah.