EKBIS.CO, JAKARTA -- Sekjen Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) Donatus Gede Sabon mengatakan, data produksi kelapa di Indonesia masih simpang siur. Menurutnya, ada ketidakcocokan data ekspor dan produksi kelapa antara BPS, Kementerian Pertanian, dan Bea Cukai.
"Kita harus lihat tren produksi di Kementerian Pertanian seperti apa, sebab data BPS bilang ekspor kelapa volumenya memang kecil tapi trennya naik terus. Mana yang benar, kami tidak tahu," ujar Donatus di Jakarta, Senin (23/5).
Menurut Donatus, data yang akurat tidak hanya menguntungkan pelaku industri pengolahan kelapa tapi juga petani kelapa. Menurutnya, HIPKI sudah diminta untuk membuat simulasi pemberian harga yang wajar di tingkat petani. Dalam hal ini, HIPKI sudah mengusulkan agar formulasi harga komoditas kelapa mengikuti harga di bursa internasional.
"Kami sudah menawarkan formulasi harga seperti itu, sekarang silakan pemerintah buat regulasinya sehingga industri selamat dan petani sejahtera," kata Donatus.
Donatus menjelaskan, saat ini industri pengolahan kelapa kekurangan bahan baku sehingga harus menurunkan kapasitas produksi antara 30-50 persen. Menurutnya, permasalahan utama yakni ada di produksi buah kelapa. Sudah 40 tahun terakhir tidak ada intervensi pemerintah untuk melakukan peremajaan pohon kelapa secara nasional. Sejauh ini peremajaan dilakukan secara kecil-kecilan.
Donatus meminta agar komoditas kelapa juga mendapatkan perhatian yang sama seperti komoditas lainnya yakni kakao dan karet. Sebab, saat ini inovasi produk olahan kelapa semakin banyak dan berkembang pesat. Donatus menambahkan, penurunan kapasitas produksi di industri pengolahan kelapa sudah dirasakan sejak 5 tahun terakhir. Sementara, kebutuhan kelapa untuk industri sebesar 10 miliar butir per tahun.
"Kami masih bisa bersaing tapi volumenya makin turun, dan peluang kita sudah diambil oleh Thailand serta Filipina," kata Donatus.
Baca juga: Kemendag Pertimbangkan Larang Ekspor Kelapa