Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator saat ini sedang menyusun aturan mengenai fintech. Deputi Komisioner IKNB (Industri Keuangan Non Bank) OJK, Edy Setiadi menjelaskan, untuk menyusun aturan ini pihaknya akan berkoordinasi dengan regulator beberapa negara-negara yang lebih berpengalaman dalam mengatur fintech ini. Koordinasi tersebut akan dijalin dalam festival fintech yang digelar OJK pada akhir bulan Agustus ini.
Menurut Edy, perkembangan fintech secara internasional sudah meningkat cukup besar. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, pertumbuhannya hampir 30-40 kali lipat. Namun, karena di Indonesia belum ada aturan resmi yang menggolongkan fintech ke dalam industri tertentu, OJK belum dapat memantau pertumbuhan dari sisi jumlah nasabah.
“Sejauh mana produk dipasarkan melalui layanan teknologi, melalui provider teknologi, kita belum pantau itu. Tapi yang kita pantau adalah sejauh mana katakanlah kalau ada perjanjian kerja sama industrinya sendiri dengan perusahaan fintech, sejauh mana bisa mengcover risikonya apabila perusahaan fintech terjadi kebocoran data nasabah,” jelas Edy.
Edy menuturkan, saat ini OJK masih mencermati negara mana yang akan dijadikan kiblat dalam mengatur industri fintech ini. Ia mencontohkan, Kanada meminta pihak asosiasi untuk mengatur fintech. Sedangkan di Malaysia dan Thailand diatur langsung oleh pemerintah.
Sementara di Amerika Serikat (AS), distribusi produk asuransi tidak boleh oleh perbankan atau fintech, harus melalui agen asuransi atau perusahaan pialang. Sehingga di sana tidak mengenal istilah bancassurance.
“Jadi banyak aturan-aturan yang berbeda di tiap negara, distribusinya saja tidak boleh di luar perusahaan pialang atau fintech. Kan berarti ada negara-negara tertentu yang memang diperkenankan. Kita masih melihat, karena kalau sepanjang fintech itu dapat melakukan efisiensi atau artinya overhead cost-nya lebih rendah, perlu kita cermati juga mengapa tidak?” ujar Edy.
Dalam aturan yang sedang disusun, lanjut Edy, regulator akan mencermati aturan-aturan yang dinilai tidak terlalu ketat dan tidak akan menekan kreativitas dari fintech. Saat ini, industri yang sudah ada seperti perbankan, pasar modal dan keuangan non bank, juga memiliki fintech dan dapat menjalankannya, sepanjang fintech dilaksanakan oleh perusahaan dengan dicover oleh management risiko.
Artinya, kalau perusahaan fintech tersebut menggunakan distribusi channel melalui IT, secara otomatis pengawas akan melihat kecukupan memitigasi risiko dari penggunaan distribusi melalui IT tersebut. Jadi, cara management risiko sudah tercover di dalam proses pengawasan oleh OJK sendiri.
Namun, yang belum ada peraturannya adalah bagaimana perusahaan IT yang berperan sebagai lembaga jasa keuangan. Perusahaan yang bukan besiknya dari industri perbankan namun secara peer to peer landing mempertemukan investor dengan pemilik proyek.
“Nah ini tentunya perlu pengaturan seperti apa. Saat ini masih kita jajaki melalui seminar internasional fintech akhir bulan ini, kita lihat dengan regulator negara lain fintech-nya seperti apa. Tapi secepatnya akhir tahun ini sudah ada regulasinya,” katanya.