EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom dari Kenta Institute, Eric Sugandi menilai, RAPBN 2017 lebih realistis daripada APBN 2016. Menurutnya, target pertumbuhan dan inflasi pemerintah bisa dicapai asal didukung oleh kebijakan fiskal dan moneter yang prudent.
Hal itu, kata dia, bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) di sisi moneternya, terutama untuk mengendalikan inflasi dan jaga stabilitas rupiah. "Pemerintah lebih baik berhati-hati, daripada terlalu optimistis," ujarnya pada Republika.co.id, Rabu (17/8).
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2017 yang sebesar 5,3 persen, naik tipis dari estimasi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 yang sebesar 5,2 persen.
Dalam pembacaan Nota Keuangan dan RAPBN 2017 oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (16/8) disebutkan optimisme pemerintah seperti inflasi yang berada di kisaran 4 persen. Selain itu, asumsi nilai tukar rupiah yang sebesar Rp 13.300, yang lebih kuat dari asumsi tahun ini yang mencapai Rp 13.900 per dolar AS.
Eric menuturkan, situasi global, terutama harga komoditas, mungkin bisa membaik. Tetapi ada faktor risiko masih tertekan jika pertumbuhan ekonomi Cina melambat. Hal ini akan berdampak pada penerimaan perpajakan dari migas dan sumber daya alam.
"Penurunan belanja pemerintah juga relatif tidak banyak. Artinya sifat ekspansif dari kebijakan fiskal masih dipertahankan untuk pacu pertumbuhan ekonomi," artinya.
Asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 yang berada di kisaran 5,3 persen dinilai lebih realistis. Sementara angka inflasi di 4,0 persen mencerminkan sikap berhati-hati. Eric memperkirakan inflasi di tahun depan akan berada di kisaran 3,5-4,0 persen.
"Nilai tukar rata-rata di Rp 13.300 cukup realistis, walau nanti tentunya nilai aktualnya akan dipengaruhi faktor-faktor global yang di luar kendali pemerintah dan BI," katanya.
Baca juga: Pemerintah Andalkan Investasi untuk Pertumbuhan Ekonomi 2017