EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio Gini sebesar 0,397 pada Maret 2016. Angka ini turun tipis jika dibandingan rasio Gini Maret 2015 yang sebesar 0,408 persen dan September 2015 0,402. Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listianto menjelaskan, meski diklaim menurun namun ia menilai bahwa capaian rasio gini yang baru saja dirilis BPS menunjukkan bahwa jurus-jurus perbaikan ekonomi yang dilakukan pemerintah belum cukup ampuh untuk membawa perbaikan yang signifikan.
Ia menyebutkan, langkah pemerintah untuk mengefisienkan anggaran, termasuk menggeser subsidi yang bersifat konsumtif ke sektor produktif serta transfer ke daerah yang cukup besar ternyata hanya cukup menggeser angka ketimpangan pengeluaran masyarakat dengan selisih tipis.
"Artinya dengan effort besar dari sisi politik anggaran namun hasil belum maksimal. Ini menunjukkan berarti banyak persoalan dalam implementasi anggaran. Ketimpangan sektor jasa dan riil itu besar sekali," ujar Eko, Jumat (19/8).
Ia mengungkapkan, berkaca pada pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini misalnya, masih banyak ditopang oleh kuatnya pertumbuhan di sisi jasa seperti jasa keuangan dan asuransi. Di sisi lain, sektor riil termasuk pertanian dan industri manufaktur yang padat karya tidak menunjukkan capaian yang signifikan meningkat. Angkanya pun untuk sektor riil hanya di kisaran 3 persen atau masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
"Sumber ketimpangan, di saat sektor jasa melaju, justri sektor riil yang menyerap lebih banyak tenaga kerja stagnan. Perlu diingat bahwa 40 persen kelompok masyarakat hidup di sektor pertanian dan industri padat karya seperti buruh pabrik," katanya.
Pemerintah, kata Eko, dinilai belum bisa mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang memberikan manfaat langsung pada masyarakat golongan bawah. Sejumlah kebijakan yang bersifat instan seperti pemberian subsidi langsung seperti alokasi beras untuk masyarakat miskin yang dilontarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pun ia nilai hanya bersifat jangka pendek. Artinya, pemberian subsidi langsung bisa saja menolong masyarakat namun perbaikan daya beli hanya bertahan dalam waktu singkat.
"Artinya apa, kalau kebijakan tidak menyentuh ke pertanian dan industri padat karya itu ya sebetulnya yang terjadi akan ada ketimpangan. Karena sektor jasa akan tumbuh, soalnya sektor jasa tanpa di touch kebijakan apa apa akan tetap tumbuh. Pemerintah harus fokus berikan apa yang dua sektor itu butuhkan," katanya.
Sementara itu Anggota Komisi XI DPR Eddy Susetyo menambahkan bahwa pemerintah belum boleh langsung puas dengan capaian ketimpangan pengeluaran masyarakat yang disampaikan BPS. Ia menilai, meski anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat memiliki tren meningkat, namun pemerintah harus mengevaluasi bagian mana yang tak tepat sasaran.
"Dengan gini rasio yang walaupun turun tapi boleh dikatakan relatif landai, berarti itu harus dilihat kembali program program yang selama ini dilakukan berarti belum terlalu efektif. Tapi ya di satu sisi bahwa karena itu kita sangat mendukung program prioritas pemerintah dalam RAPBN 2017 adalah tiga hal penting yakni penurunan angka kemiskinan, pengurangan pengganguran, dan pengurangan ketimpangan atau kesenjangan ekonomi," katanya.
Eddy menyebutkan, jurus paling utama yang harus dilakukan pemerintah untuk menekan ketimpangan pengeluaran adalah dengan fokus pada pemenuhan infrastruktur dasar yakni pendidikan dan kesehatan. Langkah selanjutnya, menurut Eddy, bukan sebatas pemberian subsidi langsung namun bagaimana pemerintah daerah bisa membantu pemerintah pusat untuk membuat program pemberdayaan yang berkelanjutan.