EKBIS.CO, JAKARTA -- Jumlah perusahaan kosmetik yang telah melakukan sertifikasi halal masih minim. Dari 500 perusahaan anggota Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi), baru sekitar 70 perusahaan yang bersertifikasi halal. Jumlah perusahaan kosmetik sendiri berdasarkan data Kementerian Perindustrian pada 2013 sebanyak 760 perusahaan.
"Jadi masih banyak sisanya yang belum memiliki sertifikasi halal," ujar Ketua Bidang Teknis dan Ilmiah Perkosmi Dewi Rijah Sari kepada Republika.co.id, Jumat (30/9).
Dari 760 jumlah perusahaan tersebut, mayoritas adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hanya 23 perusahaan yang bekategori besar. Artinya, kata Dewi, sertifikasi halal bisa menjadi salah satu kendala bagi UMKM.
Peluncuran suatu produk kosmetik biasanya mengikuti tren atau mode. Dalam satu tahun kosmetik akan mengikuti musim yang ada sehingga perubahannya akan cepat. Dewi khawatir apabila sertifikasi halal untuk kosmetik diwajibkan, maka prosesnya akan memakan waktu lama, padahal tren cepat berubah sehingga kosmetik tidak bisa segera dipasarkan.
Di sisi lain, komoditi kosmetik sudah mengikuti regulasi harmonisasi di ASEAN. Konsekuensinya adalah kosmetik tidak perlu diregistrasi tetapi cukup dinotifikasi sebelum dipasarkan ke konsumen. Dulu, sebelum dipasarkan ke konsumen, suatu produk kosmetik membutuhkan waktu 6 bulan hingga 1 tahun untuk melakukan pendaftaran.
Namun sekarang hanya 14 hari kerja, kemudian melakukan notifikasi ke Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM), dan kosmetikpun bisa dipasarkan. Dengan adanya sertifikasi halal, maka proses tersebut akan memakan waktu lebih lama, yakni 42 hari kerja.
Dewi pernah mendengar adanya rencana perusahaan kosmetik dari Korea Selatan yang hendak mengincar pasar halal di Indonesia. Namun Dewi yakin, kemampuan produsen kosmetik lokal tidak akan kalah bersaing dengan produsen dari luar. Keharusan sertifikasi halal ini salah satunya lantaran pemerintah khawatir akan adanya penggunaan gelatin dari hewan.
Padahal, kata Dewi, saat ini sudah banyak bahan yang tidak berasal dari hewan melainkan dari sintetis kimia atau tumbuhan. Apalagi teknologi bahan baku kosmetik sudah sangat canggih sehingga kekhawatiran terhadap gelatin hewan tidak perlu berlebihan. Dewi pun berharap pemerintah bisa mengkaji ulang sertifikasi halal kosmetik dengan mempertimbangkan dampak dari hulu ke hilir.
"Pertimbangkan urgensinya, ini kan pemakaian luar. Kami harap semua peraturan yang disusun disinergikan dengan program paket kebijakan ekonomi di mana ada debrokratisasi dan deregulasi sehingga pengusaha tidak dibebankan peraturan berat," ujarnya.
Meski begitu bukan berarti Perkosmi menolak sama sekali sertifikasi halal. Kewajiban sertifikasi tersebut sebaiknya hanya diberlakukan bagi perusahaan yang mengklaim bahwa produknya halal.