EKBIS.CO, JAKARTA -- Program sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah hendaknya lebih dipandang sebagai semangat bukan target untuk menyediakan rumah yang layak bagi masyarakat luas.
Sehingga pembangunan perumahan akan terus berjalan dan terjadi peningkatan jumlah. Target sebenarnya adalah hunian yang sudah melakukan akad kredit, bukan hunian yang masih dalam tahap konstruksi pembangunan. "kalau target akan menimbulkan kesan seolah target telah berhasil," kata Eddy Ganefo, ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Sabtu (22/10).
Kalangan perbankan sendiri menyambut positif kebijakan sejuta rumah itu. Salah satunya melalui fasilitas kredit perumahan rakyat (KPR) Mikro. Saat ini ada potensi besar dari sektor mikro dan informal untuk memiliki hunian yang layak. Namun, mereka masih terkendala dalam hal kemampuan membayar uang cicilan. "Untuk itu perlu aturan main yang ketat untuk mengetahui kemampuannya membayar," kata Oni Febriarto, Direktur BTN, disela diskusi paket kebijakan ekonomi pemerintah jilid 13 bagi sektor properti, Sabtu (22/10).
Menurutnya BTN berupaya menjembatani masalah ini dengan menggunakan skip kredit KPR mikro dan informal. Namun, skim yang berlaku sekarang sifatnya hanya sementara sambil melihat perkembangan.
Oni juga menambahkan saat ini masyarakat yang ingin memiliki rumah jumlahnya besar. Namun, suplai dari pengembang terbatas. Adanya paket kebijakan ekonomi jilid 13 tersebut diharapkan mampu merangsang suplai agar dapat memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat. Seperti tahapan perijinan dari 33 menjadi 11 dan lama perizinan dari 769 hingga 981 hari menjadi 44 hari. "Pengaruh paket jelas ada, jumlah target pembiayaan perumahan yang harus dipenuhi perbankan meningkat," katanya.
Saat ini terdapat sejumlah perizinan yang digabung atau dihilangkan. Biaya pengurusan perizinan juga diturunkan sebesar 70 persen menjadi 30 persen melalui pengurangan, penggabungan dan percepatan proses perizinan.