Ahad 15 Jan 2017 00:53 WIB

Pemindahan Aset BUMN ke Swasta Harus Diperketat

Rep: Umar Mukhtar / Red: Bayu Hermawan
Said Didu
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Said Didu

EKBIS.CO, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu mengatakan pemindahan aset negara yang ada di BUMN kepada perusahaan swasta, harus betul-betul diperketat. Hal ini untuk mencegah tidak terjadi 'kongkalikong' antara pemerintah dengan pihak pengusaha.

"Pemindahan aset negara dalam BUMN ke swasta itu harus melalui mekanisme yg ketat. Jangan sampai pemerintah karena dekat dengan si A, lalu diserahkan saja ke perusahaan dia. Menurut saya itu harus sangat ketat," ujarnya di Menteng, Jakarta, Sabtu (14/1).

Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2016 telah diterbitkan dan berlaku sejak 30 Desember 2016 lalu. PP ini adalah hasil revisi terhadap PP nomor 44 tahun 2005 tentang tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas (perusahaan swasta).

Dalam PP 72 2016 itu, ada tambahan berupa pasal 2A yang disisipkan di antara pasal 2 dan pasal 3 sebagaimana ada dalam PP 44 tahun 2005. Pasal 2A menyebutkan pemindahan aset negara yang ada pada BUMN ke pihak swasta dilakukan tanpa melalui mekanisme pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Itu artinya, pemindahan aset negara yang ada di dalam BUMN ke pihak swasta dapat dilakukan tanpa disetujui oleh DPR RI. Padahal, pemindahan aset negara ke swasta itu adalah bentuk privatisasi.

"Di Undang-undang BUMN itu pemindahan aset negara atau BUMN ke swasta itu adalah privatisasi. Nah privatisasi harus persetujuan DPR," kata Said.

Menurut Said, karena itu bentuk privatisasi, tentu tetap harus melalui DPR. Meskipun, diakui dia, pembahasan di DPR itu belum tentu menjadi satu mekanisme yang ketat sebelum melakukan privatisasi.

"Apakah lewat DPR itu menjadi ketat. Kan belum tentu juga. Makanya, mekanisme lewat DPR pun harus ada prasyarat," ujarnya.

Said menambahkan, perlu ada mekanisme pengawasan terhadap pemindahan aset BUMN ke swasta, yakni berupa persetujuan DPR RI. Dengan begitu, jika terjadi sesuatu yang merugikan, ada bentuk pertanggungjawaban politik dari DPR.

"Prosesnya mungkin panjang, kita berharap DPR juga objektif melihatnya, bukan karena kepentingan," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement