Adalah Hilmy yang ketika di bangku SMA aktif di kegiatan Kelompok Ilmiah Remaja. Ia membuat biodiesel dari buang nyamplung yang banyak di daerahnya di Pangkep. Ia juga pernah mencoba mengolah jelantah menjadi biodiesel, tetapi di Pangkep jarang jelantah. ‘’Secara ekonomi, nyamplung kurang menguntungkan, lebih murah dari jelantah,’’ ujar Hilmy.
Ada 60 kali uji coba berbagai bahan dibuat biodiesel selama dua tahun. Bahan dari jelantah yang paling ekonomis terhitung yang paling ekonomis. Maka, ketika mulai kuliah di Jurusan Antropologi Universitas Negeri Makassar pada 2012, Hilmy menemukan jalan. Banyak jelantah di Makassar. Ada 20 pabrik makanan di Makassar, yang menyisakan 17,6 ton jelantah per hari.
Aktif di Himpunan Pengusama Muda Indonesia Perguruan Tinggi (Hipmi PT), Hilmy sering berdiskusi dengan Fauzy yang kuliah Manajemen di Unhas. Hilmy membuka usaha prebiotik, Fauzy membuka usaha periklanan media sosial. Diskusi-diskusi tentang BBM berujung pada kesepakatan membentuk usaha baru membuat energi hijau dari jelantah.
Dorongan kuat yang membuat Hilmy dan kawan-kawan serius mengolah jelantah menjadi biodiesel adalah kenyataan seringnya nelayan tak bisa melaut karena tak ada solar. Jika ada solar, sering mahal, didapat dari penyalur gelap. Untuk melaut sehari, seorang nelayan membutuhkan 100 liter solar. Dalam sebulan berarti membutuhkan tiga ton solar. Dengan harga Rp 7.000 per liter, mereka mengabiskan Rp 21 juta hanya untuk solar.
Kampung nelayan di Paotere (Foto: Dokumen Gen Oil)
Maka, ketika Hilmy dan kawan-kawan sudah memproduksi biodiesel, sasaran utama mereka pada awalnya adalah nelayan. Mereka tawarkan biodiesel ke nelayan, tetapi ditolak. Maka, 10 nelayan mewakili masing-masing kelompok nelayan diberi gratis biodiesel untuk uji coba, masing-masing lima liter.
Sebelumnya, mereka sempat memasok biodiesel ke pabrik-pabrik, tetapi karena pembayarannya baru terlaksana tiga bulan kemudian, mereka lantas menghentikannya. Ingin pula memasok ke Pertamina, tetapi syarat minimal produksi belum terpenuhi.
Maka, nelayan menjadi tumpuan. Produksi 2.000 liter per hari ini dipasok ke nelayan melalui penjual eceran BBM di lokasi nelayan. Para nelayan bisa mendapatkannya dengan harga Rp 5.500 per liter. Kini sudah ada 33 kelompok nelayan di Paotere yang memakai biodiesel dari Gen Oil. Para nelayan itu bisa berhemat 20 persen dibandingkan jika mereka harus memakai solar.
Ahmad Fauzy Ashari (paling kiri) Andi Hilmy Mutawakkil (kedua dari kiri), Ahmad Sahwawi (kedua dari kanan), bersama Dinna (paling kanan) dari Dompet Dhuafa (Foto: Dokumentasi Gen Oil).
Bukan perjalanan mudah pada awalnya. Berbagai proposal yang mereka tawarkan ke berbagai lembaga untuk membantu pendanaan di awal mereka memulai bisnis tak membuahkan hasil. Akhirnya mereka memutuskan menggadaikan barang milik mereka. Berenam mereka memulai kewirausahaan sosial ini di usia mereka yang masih muda.
Hilmy dan Fauzy masing-masing menggadaikan motor mio mereka. Fauzi Ihza menggadaikan tanah seluas satu hektare, Rian Hadian Hakim menggadaikan mobil Mitsubishi Pajero. ‘’Terkumpul Rp 300 juta sebagai modal awal,’’ ungkap Fauzy.
Modal terkumpul, mendorong Hilmy mengambil cuti kuliah, untuk memulai usaha ini. Misi sosial mereka tak berhenti di pelibatan mantan preman. Pada 2017 mereka akan memberdayakan petani sawit yang mengalami kesulitan karena hasil panennya tak ada yang membeli. Ada 2.000 petani yang mengelola 2.000 hektare plasma sawit. ‘’Kami akan bentuk koperasi untuk membuka akses pasar bagi mereka,’’ ujar Hilmy.
Kepedulian sosial mereka itulah yang membuat Dompet Dhuafa memberikan dana hibah pada 2015. Pada 2016, mereka terpilih dalam kontes Ide untuk Indonesia yang diadakan British Council. Selain mendapat hadiah Rp 100 juta, mereka juga mendapat undangan perjalanan ke Inggris pada November 2016.
Kewirausahaan sosial yang mereka jalankan itu membuat mereka sering diundang Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti) untuk berbagi inspirasi di berbagai forum. Yayasan Bakti merupakan yayasan penerima dana hibah Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia untuk program pengetahuan hijau.
Pemerintah Kota Liverpool, Inggris, juga tertarik pada kisah kewirausahaan sosial dan bisnis hijau mereka. ‘’Mei 2017 kami diundang pemerintah Liverpool,’’ ujar Hilmy.