EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Bank Syariah Mandiri (Persero) atau BSM pada tahun ini membidik pembiayaan di sektor infrastruktur yang digarap oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan nilai diperkirakan sebesar Rp 3,6 triliun.
Direktur Wholesale Banking BSM Kusman Yandi menuturkan, adapun proyek-proyek tersebut antara lain ke Pelindo I yakni pengembangan Pelabuhan Kuala Tanjung senilai Rp 300 miliar.
"Pada triwulan I ada dua pipeline yang digarap perusahaan BUMN karya yang diperkirakan masing-masing sebesar Rp 1 triliun," ujar Kusman di Kantor Pusat BSM, Wisma Mandiri, Jakarta, Rabu (1/3).
Kemudian pembiayaan ke anak usaha PT Industri Kereta Api (Inka) sebesar Rp 300 miliar. Lalu pembiayaan proyek PLN bersama dengan lima bank syariah lainnya.
Kusman menjelaskan, untuk proyek sindikasi PLN sebesar Rp 5 triliun, pihak PLN memberikan kesempatan kepada enam bank syariah untuk berkontribusi sebesar Rp 3 triliun. BSM sebagai lead dari sindikasi pembiayaan ini akan menyalurkan sebesar Rp 1 triliun.
Dari segi likuiditas, menurut Kusman saat ini perseroan telah kelebihan likuiditas yakni sekitar Rp 17 triliun. Sehingga pada tahun ini perseroan akan lebih gencar mendorong pembiayaan dibandingkan menghimpun Dana Pihak Ketiga.
"Likuiditas kami hampir Rp 17 triliun. Kalaupun kami tumbuh pembiayaan 10-12 persen, paling di angka Rp 6 triliun. Jadi kami tidak ada kesulitan likuiditas. Sehingga pada prinsipnya ini pembiayaan harus tumbuh lebih tinggi dari dana," tutur Kusman.
Adapun untuk mendanai proyek infrastruktur, perseroan akan mengandalkan likuiditas yang berasal dari simpanan dana haji yang memiliki tenor panjang hingga 10 tahun. Karakter pendanaan ini dinilai cocok dengan karakter proyek infrastruktur yang memang memberikan imbal hasil dalam jangka panjang.
"Dana tabungan haji itu kan masuk DPK. DPK ini kan bergulir. Jadi bank syariah diberi kesempatan untuk mengelola dana tersebut," katanya.
Tercatat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 12,62 persen (yoy) dari Rp 62,1 Triliun per Desember 2015 menjadi Rp 69,9 triliun per Desember 2016. Sekitar 49,58 persen atau sebesar Rp 34,7 Triliun dari total DPK merupakan Low Cost Fund (Giro dan Tabungan) atau dana murah.