EKBIS.CO, JAKARTA -- Berdasarkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan pada 15-16 Maret 2017, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7 RR Rate) tetap sebesar 4,75 persen. Dengan suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 4,00 persen dan Lending Facility tetap 5,50 persen.
Keputusan itu berlaku efektif sejak 17 Maret 2017. "Ini konsisten dengan upaya Bank Indonesia menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan di tengah semakin meningkatnya ketidakpastian global," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Tirta Segara kepada wartawan, di Jakarta, Kamis, (16/3).
Ia menjelaskan, BI tetap mewaspadai dan mencermati sejumlah risiko dalam jangka pendek ke depan, baik yang bersumber dari global maupun domestik. Risiko yang berasal dari global antara lain terkait kenaikan inflasi global, arah kebijakan ekonomi dan perdagangan AS, dan dampak lanjutan kenaikan Fed Fund Rate (FFR), serta risiko geopolitik di Eropa.
Sedangkan, risiko dari domestik yang tetap perlu dicermati terutama terkait dengan dampak penyesuaian harga oleh pemerintah (administered prices) terhadap inflasi. "Untuk itu Bank Indonesia senantiasa mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Selanjutnya," jelas Tirta.
Ia menegaskan, Bank Indonesia terus melakukan penguatan koordinasi bersama Pemerintah dengan fokus pada pengendalian inflasi agar tetap berada pada kisaran sasaran dan kelanjutan program reformasi struktural. Hal itu untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkesinambungan.
Tirta juga mengatakan, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan terus membaik, meskipun diliputi oleh sejumlah risiko yang perlu dicermati. Perekonomian global tetap tumbuh terutama didukung oleh perbaikan ekonomi AS dan negara-negara emerging serta meningkatnya harga komoditas.
"Ekonomi AS terus tumbuh didorong oleh konsumsi dan investasi, diikuti dengan ketenagakerjaan dan pendapatan yang membaik. Selain itu, harga komoditas dunia termasuk harga minyak dan komoditas ekspor Indonesia tetap meningkat," tuturnya.
Tirta menambahkan, sejumlah risiko global pun perlu terus diwaspadai, termasuk tekanan inflasi yang mulai meningkat di negara maju yang dapat memicu pengetatan kebijakan moneter di negara-negara tersebut. Sementara itu, kenaikan Fed Fund Rate (FFR) lebih lanjut akan berpotensi mendorong penguatan mata uang AS dan meningkatkan cost of borrowing.
Permasalahan Brexit dan risiko geopolitik di sejumlah negara Eropa terkait menguatnya gelombang populism serta risiko penyelesaian utang Yunani juga dapat meningkatkan ketidakpastian global. Meski begitu, perekonomian Indonesia pada kuartal I 2017 diprediksi tetap tumbuh relatif kuat dibandingkan kuartal sebelumnya.
Hal itu didorong oleh investasi yang meningkat, konsumsi yang masih tinggi dan kinerja ekspor yang membaik. Investasi nonbangunan diperkirakan akan terus membaik tercermin dari berlanjutnya penjualan alat berat yang meningkat, serta penjualan semen yang mulai tumbuh positif.
"Pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap tinggi sebagaimana terindikasi dari penjualan ritel yang tumbuh stabil dan ekspektasi konsumen yang positif. Sementara itu, kontribusi Pemerintah terhadap konsumsi dan investasi cenderung membaik," ujar Tirta.
Dari sisi eksternal, kinerja ekspor juga diperkirakan tetap meningkat seiring dengan kenaikan harga komoditas. Dengan perkembangan tersebut, untuk keseluruhan tahun 2017, perekonomian Indonesia diperkirakan dapat tumbuh pada kisaran 5,0-5,4 persen year on year (yoy).
Neraca perdagangan Indonesia pun mencatat surplus pada Februari 2017, terutama didukung oleh berlanjutnya surplus neraca perdagangan nonmigas. Surplus neraca perdagangan Indonesia tercatat sebesar 1,32 miliar dolar AS pada Februari 2017, lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 1,43 miliar dolar AS, namun lebih tinggi dibandingkan surplus pada Februari 2016 sebesar 1,14 miliar dolar AS.