EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengatakan, kebijakan program uang muka 1 persen untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dicanangkan oleh pemerintah menaikkan penjualan rumah mencapai 30 persen. Program ini merupakan bagian dari program penyediaan satu juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Ada kenaikan penjualan 30 persen dan serapannya dalam beberapa bulan ini," ujar Junaidi di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (20/3).
Di sisi lain, Apersi berharap program uang muka 1 persen tersebut tidak hanya berlaku bagi masyarakat berpenghasilan tetap saja tetapi juga didorong bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pekerja informal. Menurut Junaidi, masih banyak pekerja informal yang belum memiliki rumah akibat tidak bankable. "Para penjual-penjual itu kan nggak bankable, padahal itu termasuk data backlog," kata Junaidi.
Sejauh ini penjualan rumah yang paling besar terjadi pada rumah subsidi. Harga rumah subsidi di setiap daerah berbeda, misalnya saja di Papua harganya bisa mencapai Rp 180 juta, di Kalimantan sekitar Rp 130 juta, dan di wilayah pinggiran Jakarta seperti Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang sebesar Rp 140 juta. "Aturannya rumah subsidi maksimal tipe 36 dengan luas tanah minimal 60 meter persegi," kata Junaidi.
Terkait dengan program KPR Mikro oleh Bank Tabungan Negara (BTN), Junaidi mengatakan, program tersebut cukup bagus untuk menyasar para pekerja informal agar memiliki rumah. Namun, program ini harus ada campur tangan pemerintah sebab BTN sudah mempunyai tugas berat. Apalagi, program KPR Mikro ini sepenuhnya ditanggung oleh perbankan.
"Kita maunya pemerintah ikut masuk disitu untuk mikro, pekerja-pekerja itu (pekerja informal) untuk sehari pendapatan mungkin bisa dapet Rp 4 juta, tapi kan gak bisa ngambil dan itu termasuk data backlog," ujar Junaidi.
Junaidi menjelaskan, sudah ada kerja sama antara BTN dengan Apersi untuk program KPR Mikro. Nantinya, program ini akan menyasar asosiasi-asosiasi pekerja informal, misalya asosiasi pedagang bakso, asosiasi nelayan, asosiasi UMKM, maupun asosiasi petani. Akan tetapi, Apersi masih mengalami kebingungan mengenai program ini.
Menurut Junaidi, jika program KPR Mikro diberikan kepada asosiasi pedagangan bakso maka kemungkinan lokasinya ada di dalam kota. Padahal, harga lahan di tengah kota sudah mahal dan tidak memungkinkan untuk dibangun rumah dengan KPR Mikro seharga Rp 75 juta. "Kecuali ada campur tangan pemerintah, katakanlah bikin rumah susun untuk pedagang bakso, mungkin bisa," kata Junaidi.
Junaidi berpendapat, program KPR Mikro paling tepat sasaran diberikan untuk nelayan, UMKM, dan petani. Sebab, mereka sebagian besar tinggal di daerah pinggiran sehingga harga lahan masih terjangkau. Secara keseluruhan, Apersi mendukung program KPR Mikro, hanya saja diharapkan program ini dapat diarahkan ke wilayah pinggiran.