EKBIS.CO, JAKARTA -- Adanya globalisasi rantai suplai makanan, disertai industrialisasi, dan urbanisasi mengubah kebiasaan makan orang di seluruh dunia sekaligus memunculkan pentingnya pengawasan makanan dan keamanan makanan.
Deputi III Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Suratmono mengatakan, pengawasan pangan bukan hanya menjadi tanggung jawab pihaknya ataupun Kementerian Kesehatan, melainkan seluruh pihak. Sebab, pengawasan perlu dilakukan dari hulu ke hilir.
"Perlu ada pengawasan terpadu, karena tidak mungkin hanya BPOM sendiri, nggak mungkin Kemenkes sendiri, karena masalah pengawasan ini penting," ujarnya kepada wartawan saat ditemui pada acara workshop Nasional Assesment Sistem Pengawasan Makanan di Jakarta, Senin (3/4).
Misalnya, ia melanjutkan, pada sektor pertanian pengawasan dilakukan bagaimana cara bercocok tanam yang baik, aman dan bebas dari kontaminasi. Hal ini mendorong perlu adanya pengaturan atau regulasi. Ia menegaskan, sebenarnya sudah ada undang-undang terkait pangan yang mengatur masalah keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama.
"Di dalam peraturan pemerintah sudah ada pembagian tugas dan kewenangan dalam setiap kementerian lembaga, itu sudah diatur dalam PP 28 yang sekarang akan direvisi menjadi PP Nomor 18 Tahun 2012," ujar dia.
Sejauh ini pemerintah sudah melakukan berbagai upaya, terakhir adalah adanya Instruksi Presiden (Inpres) tentang peningkatan efektivitas pengawasan obat dan makanan, Inpres Nomor 3 Tahun 2017 yang melibatkan beberapa kementerian dan lembaga untuk melakukan pengawasan.
Sayangnya pengawasan pangan di Indonesia belum sesuai dengan standardisasi internasional. "Dari hasil pengawasan rutin kita memang belum zero defect," tambah dia.
Pengawasan pada 2016 menunjukkan sekitar 14,9 persen dari 26.537 sampel pangan tidak memenuhi syarat karena penyalahgunaan bahan berbahaya, cemaran mikroba atau bahan tambahan pangan (BTP) melebihi batas maksimum yang diizinkan.
BPOM mencatat, di Indonesia dalam kurun waktu 2011 dan 2015, produk makanan yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan meningkat sekitar 35 persen. Di antaranya sejumlah zat berbahaya yang digunakan sebagai zat aditif untuk makanan dan adanya kontaminasi mikroba. Pada 2013 sampai 2015, laporan tentang keracunan makanan yang serius meningkat dari 48 menjadi 61 kasus di 34 provinsi.
Bahkan pada 2015, Badan Karantina Perikanan melaporkan tujuh kasus penolakan ekspor ikan ke ltalia, Prancis, lnggris, Rusia, Belgia, Korea Selatan dan Kanada karena kandungan merkuri dan mikroba yang berlebihan.
Perwakilan FAO di Indonesia Mark Smulders mengatakan, pihaknya sebagai organisasi internasional berkomitmen meningkatkan keamanan pangan. Bersama organisasi kesehatan dunia (WHO), pihaknya berupaya meningkatkan kualitas makanan di tanah air dalam mewujudkan ketahanan pangan dan gizi.
"Sistem pengawasan makanan nasional yang efektif dibutuhkan untuk melindungi kesehatan konsumen dan untuk memastikan perdagangan makanan dilakukan dengan cara-cara yang baik," kata dia. Sebab, makanan yang aman akan menguntungkan semua orang.
BPOM, Kementerian Kesehatan, didukung FAO dan WHO akan menggelar workshop assesement sistem pengawasan makanan pada 3-6 April 2017. Workshop ini bertujuan meningkatkan kompetensi pihak-pihak yang berwenang dalam keamanan makanan untuk melakukan penilaian sendiri terhadap sistem pengawasan mereka.
Ini merupakan workshop pertama di Indonesia. Iabmelanjutkan, nantinya FAO dan WHO akan terus melakukan pembinaan selama tahun ini hingga Indonesia mampu menjalankan pengawasan pangan berstandar internasional.