EKBIS.CO, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan potensi kenaikan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) perbankan berpotensi meningkat. Menanggapi itu Chief Economist di SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi mengatakan kenaikan NPL memang perlu diwaspadai.
Meski begitu, ia menegaskan, bukan berarti sistem perbankan nasional dalam kondisi bahaya. "Kalau dilihat dari NPL ke pihak ketiga nonbank per sektor, berdasarkan data SPI pada Januari 2017, NPL tertinggi ada di sektor badan internasional dan ekstra internasional mencapai 13,3 persen," jelasnya kepada Republika, Selasa, (11/4).
Hanya saja, nominal NPL dan jumlah kreditnya sangat kecil jadi bisa diabaikan. NPL tertinggi berikutnya ada di sektor mining yakni mencapai 6,3 persen. Setelah itu transportasi, pergudangan dan komunikasi sebesar 5,1 persen, perdagangan besar dan eceran 4,6 persen, serta konstruksi sebesar 4,5 persen.
Sementra NPL tertinggi untuk non industri ada di sektor pinjaman untuk ruko dan rukan, yakni mencapai 4,1 persen. "Jadi benar kalau dikatakan salah satu kontributor NPL saat ini adalah sektor mining dan memang dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas pertambangan dan energi," tutur Eric.
Ia menjelaskan, tahun ini memang ada harapan harga komoditas energi terutama migas, akan lebih baik dari tahun lalu. Sayangnya tidak dibarengi dengan penurunan NPL, karena beberapa bank memiliki nasabah bermasalah jadi harus merestrukturisasi utang nasabah dahulu.
"Sementara itu, rasio NPL yang tinggi di sektor transportasi, pergudanga, komunikasi, perdagangan besar, dan eceran, serta konstruksi ada kaitannya dengan tertekannya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia," terang Eric. Dengan begitu mempengaruhi pendapatan debitur dan kemampuan mereka bayar utang.
"Saya piki sektor-sektor tersebut masih akan menjadi sektor-sektor dengan rasio NPL tertinggi tahun ini," tambahnya. Menurutnya, NPL tinggi itu mengganggu pertumbuhan kredit perbankan dari sisi suplai, sebab bank-bank yang alami masalah NPL ini harus merestrukturisasi pembayaran utang nasabah yang bermasalah.
Hal itu membuat perbankan secara keseluruhan menjadi konservatif dalam alirkan kredit. "Sehingga bisa ganggu pertumbuhan ekonomi karena chanelling dana ke sektor riil terganggu," jelas Eric.