EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah pusat membuat mekanisme pengelolaan transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang lebih efisien. Mekanisme baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2017, sekaligus revisi dari beleis sebelumnya yakni PMK Nomor 187 Tahun 2016.
Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Budiarso di Kementerian Keuangan, Kamis (13/4)menjelaskan, revisi kebijakan TKDD lebih kepada perubahan skema pengalokasian, penyaluran dan pelaporan, serta evektivitas penggunaan TKDD. Secara garis besar, besar kecilnya penyaluran transfer ke daerah dan dana desa kini akan mempertimbangkan realisasi penerimaan negara dan kinerja belanja anggaran oleh pemerintah daerah.
Budiarsi menyebutkan, pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) kini bersifat dinamis. Artinya, besaran DAU per daerah dan realiasi penyalurannya akan mengikuti naik turunnya penerimaan negara atau PDN neto.
Hal ini, lanjutnya, akan memberikan implikasi terhadap besaran alokasi DAU pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan(APBNP) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBDP).
Penjelasannya seperti ini, apabila penerimaan dalam negeri neto Indonesia mengalami kenaikan, maka pagu DAU untuk daerah juga akan naik dan alokasi per daerah akan bertambah. Budiarso meminta pemerintah daerah untuk melakukan identifikasi ulang berbagai kegiatan atau program kerja yang terbilang 'urgent' atau mendesak untuk menjadi prioritas daerahnya.
Program prioritas ini tentunya akan mendapat dana dari kenaikan DAU, sepanjang sifatnya yang urgent dan menjadi prioritas daerah. Begitu pula bila tidak ada program atau kegiatan yang bersifat urgent atau penting maka tambahan DAU (kelebihan dana akibat kenaikan penerimaan negara) dapat digunakan untuk membentuk dana cadangan atau dana darurat.
Kondisi sebaliknya, bila penerimaan dalam negeri neto Indonesia menurun, maka pagu DAU nasional akan ikut mengalami penurunan dan alokasi per daerah akan berkurang. Menghadapi kemungkinan ini, Budiarso meminta pemerintah daerah untuk melakukan identifikasi dan efisiensi program yang tidak 'urgent' atau mendesak.
Begitu pula dengan kegiatan yang tidak prioritas dan tak produktif bagi kepentingan daerah agar dihilangkan atau dikurangi. Misalnya, Budiarso memberikan contoh, program non-urgent adalah perjalanan dinas yang biayanya bisa dipangkas, rapat dinas, konsinyering, dan honorarium.
Tak hanya itu, Budiarso juga meminta daerah untuk membuka ruang fleksibilitas atas sejumlah kontrak yang disepakati, dengan memasukkan klausul yang memungkinkan Pemda mengantisipasi penghematan anggaran.
"Kenapa mekanisme ini kami perbaiki? Karena selama ini transfer daerah dan dana desa disalurkan tanpa syarat. Kalau tiba waktu penyaluran, ya disalurkan. Tanpa ada pertimbangan. Ini kan tidak benar dan tidak mendidik daerah," ujar Budiarso.