EKBIS.CO, JAKARTA--Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengakui terjadinya penurunan daya beli di ritel. Namun ia tidak mengetahui pasti penyebab penurunan daya beli tersebut.
Berdasarkan riset yang dilakukan pihaknya beserta para ahli, penurunan daya beli ini tidak sejalan dengan adanya peningkatan industri. "Ini industrinya juga jelek, bukan semata-mata pengalihan," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (4/7).
Menurutnya, penurunan daya beli di ritel dalam hal ini offline dimungkinkan karena adanya pengalihan cara belanja ke online. Namun, faktanya tidak terjadi peningkatan industri.
Padahal, kata Tutum, dengan adanya permintaan online juga seharusnya berdampak pada peningkatan industri. Diakui Tutum, industri juga mengeluh karena permintaan berkurang.
Menurutnya, penurunan daya beli ini bisa saja menjadi penyebab inflasi inti. Namun ia tidak berani memastikan hal tersebut. Selain penurunan daya beli masyarakat, adapula pengontrolan produk komoditi inti seperti minyak goreng dan gula.
"Nah ada korelasinya juga tapi kita tidak pastikan," kata dia.
Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan ini merilis angka inflasi inti Lebaran tahun ini sebesar 0,42. Selama periode kepemimpinan Joko Widodo, inflasi inti saat Lebaran turun dari 0,6 pada 2015 dan 0,67 pada 2016.
Bagi kami, ia melanjutkan, apapun yang terjadi, inflasi baik atau turun, daya beli harus kuat. Ia tidak ingin pemerintah menjadikan inflasi seakan sebagai acuan perekonomian.
Daya beli dikaitkan kemampuan mendapatkan uang dan pengeluaran mereka. Kala pendapatan mereka minimum maka akan berdampak besar pada daya beli.
Tapi, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah membenahi penurunan harga barang bukan hanya selalu menaikkan pendapatan. "Bagaimanapun harus diturunkan harga-harga barang secara rasional," tegasnya.