EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development if Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menilai, momentum perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) kurang tepat mengingat kondisi perekonomian saat ini sedang mengalami kelesuan.
Kalau PTKP diturunkan atau disesuaikan dengan UMP tiap daerah, tentu dampaknya akan sangat terasa ke masyarakat terutama menengah bawah. ''Walaupun tujuan perubahan PTKP untuk mendorong penerimaan negara dan meningkatkan tax ratio, tapi waktu pelaksanaanya harus dikaji serius,'' kata Bhima, saat dihubungi, Kamis (20/7).
Jangan sampai, kata dia, kebijakan perpajakan justru kontraproduktif terhadap ekonomi dan penerimaan pajak. Perubahan PTKP diproyeksi akan mempengaruhi prilaku wajib pajak menjadi tax avoidance atau penghindaran pelaporan pajak karena PTKP-nya terlalu rendah.
Untuk wajib pajak baru, rencana menurunkan PTKP dinilai kurang pas. Pemerintah mengklaim bahwa dibanding negara Asean lainnya, PTKP Indonesia masih tinggi. Masalahnya, Bhima menuturkan, konteks wajib pajak antara Indonesia dan Malaysia misalnya berbeda.
PTKP di Malaysia kalau dirupiahkan setara Rp 13 juta per tahun dibandingkan Indonesia Rp 54 juta. Malaysia sebagian besar penduduknya ada di sektor formal, dengan pencatatan pajak penghasilan pribadi yang lebih tertib.
Sementara di Indonesia, jumlah wajib pajak sektor informalnya cukup dominan. Data BPS menunjukkan jumlah tenaga kerja sektor informal mencapai 68,2 juta orang atau 57 persen lebih dari total tenaga kerja.
''Saran saya, Dirjen Pajak sebaiknya memperbaiki pendataan basis pajak dengan sosialisasi bagi wajib pajak sektor informal ketimbang langsung membuat batasan PTKP baru,'' ujar Bhima.