EKBIS.CO, JAKARTA -- Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 selama ini menggunakan metode yang diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang (UU) PPh dengan rumus yang cukup kompleks. Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, terdapat 400 komponen yang menjadi bahan pertimbangan dalam skema penghitungan pajak tersebut. Untuk mencegah kebingungan, DJP menginisiasi formula baru penghitungan PPh 21 dengan skema tarif efektif rata-rata (TER) yang telah diterapkan sejak awal Januari lalu.
Formula tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023. Terbitnya PP 58/2023 mencabut Pasal 2 ayat (3) PP 80 Tahun 2010, sementara PMK 168/2023 menggantikan sejumlah regulasi lama, di antaranya PMK 250/PMK.03/2008, 252/PMK.03/2008, dan 102/PMK.010/2016, sekaligus mencabut dan mengganti Pasal 5, Pasal 8, Bagian Pertama angka I, Bagian Pertama angka II Lampiran PMK Nomor 262/PMK.03/2010.
Perbedaan yang paling kentara di antara rumus lama dan baru adalah penghitungan PPh 21 yang dipotong pada masa pajak Januari hingga November. Pada rumus sebelumnya, pemberi kerja perlu menghitung penghasilan rutin dan tidak rutin wajib pajak tiap bulannya dengan berbagai komponen, mulai dari penghasilan sebulan disetahunkan, biaya jabatan/pensiun/iuran, penghasilan tidak kena pajak (PTKP), tarif PPh pasal 17, hingga pembagian PPh 21 sebulan. Kemudian pada masa pajak Desember, pemberi kerja perlu menghitung pajak terutang setahun sesuai Pasal 17 UU PPh dikurangi akumulasi PPh 21 masa pajak Januari hingga November.
Untuk menyederhanakan kompleksitas penghitungan tersebut, DJP membuat skema TER, di mana penghitungan pajak dilakukan cukup dengan mengalikan penghasilan bruto atau total pendapatan sebulan dengan tarif sesuai tabel TER untuk masa pajak Januari hingga November. Adapun untuk masa pajak Desember menggunakan penghitungan yang sama dengan skema sebelumnya.
TER terdiri atas dua kategori yaitu tarif efektif bulanan untuk pegawai tetap dan tarif efektif harian untuk pegawai tidak tetap.
Tarif efektif bulanan dikategorikan berdasarkan besarnya PTKP sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan wajib pajak pada awal tahun pajak. TER bulanan terbagi menjadi tiga kategori.
Kategori A diperuntukkan bagi orang pribadi dengan status penghasilan tidak kena pajak (PTKP) tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0), tidak kawin dengan jumlah tanggungan 1 orang (TK/1), dan kawin tanpa tanggungan (K/0). TER untuk Kategori A dimulai 0 persen untuk penghasilan bulanan sampai Rp5,4 juta hingga 34 persen untuk penghasilan bulanan di atas Rp1,4 miliar.
Kategori B diterapkan untuk orang pribadi dengan status PTKP tidak kawin dengan tanggungan 2 orang (TK/2), tidak kawin dengan jumlah tanggungan 3 orang (TK/3), kawin dengan jumlah tanggungan 1 orang (K/1), dan kawin dengan jumlah tanggungan 2 orang (K/2). TER Kategori B dimulai 0 persen untuk penghasilan sampai dengan Rp6,2 juta hingga tarif 34 persen untuk penghasilan di atas Rp1,405 miliar.
Adapun Kategori C diterapkan untuk orang pribadi dengan status PTKP kawin dengan jumlah tanggungan 3 orang (K/3). TER untuk kategori ini ditetapkan sebesar 0 persen untuk penghasilan sampai dengan Rp6,6 juta hingga tarif 34 persen bagi penghasilan di atas Rp 1,419 miliar.
Sementara TER harian ditetapkan sebesar 0 persen untuk penghasilan sampai dengan Rp450 ribu dan 0,5 persen bagi penghasilan di rentang Rp450 ribu hingga Rp2,5 juta. Penghasilan bruto pegawai tidak tetap yang dimaksud yaitu penghasilan yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan. Sementara untuk penghasilan yang tidak diterima secara harian, dasar penerapan yang digunakan adalah jumlah rata-rata penghasilan sehari, yaitu rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk tiap hari kerja yang digunakan.
Menurut Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama, tarif efektif tersebut telah didesain sedemikian rupa untuk meminimalkan kemungkinan kurang bayar yang terlalu besar pada masa pajak Desember. DJP merujuk pada standar internasional terkait pengenaan pajak yang telah diterapkan di banyak negara, seperti Malaysia, Jepang, hingga Australia.
DJP juga menegaskan penggunaan kedua tarif tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan dan bersifat wajib alias bukan opsional.
Pemotongan PPh 21 saat THR
Pemotongan PPh 21 pada masa pajak bulan yang berkenaan dengan pembagian tunjangan hari raya (THR) akan lebih tinggi dibandingkan bulan lainnya. Hal ini disebabkan penghasilan bruto pada bulan terkait yang lebih tinggi dari penghasilan biasanya.
Untuk dipahami, komponen penghasilan bruto yang dimaksud mencakup gaji dan tunjangan teratur (termasuk uang lembur); bonus, THR, jasa produksi dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur; imbalan dari kegiatan yang digelar oleh pemberi kerja; pembayaran iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan yang dibayarkan pemberi kerja; serta pembayaran premi asuransi yang dibayarkan pemberi kerja.
Dengan demikian, bila diilustrasikan, maka penghitungan PPh 21 pada masa pajak bulan THR sebagai berikut.
Bila seorang pegawai tetap belum menikah dan tidak ada tanggungan (TK/0) menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp6,5 juta pada masa pajak Februari, maka penghitungan PPh 21 menggunakan tarif efektif bulanan Kategori A sebesar 1 persen.
Sementara pada masa pajak Maret, pegawai tersebut menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja sebesar Rp13 juta karena dijumlah dengan THR. Maka, tarif efektif bulanan PPh 21 yang digunakan adalah kategori A sebesar 5 persen.
“Penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Hal ini karena tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh pasal 21 masa pajak Januari sampai dengan November,” kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti.
Lebih bayar
DJP mengamini adanya kemungkinan status lebih bayar potongan PPh 21 dengan skema TER. Berdasarkan simulasi yang dilakukan DJP, kehadiran THR, bonus, dan komponen lainnya pada masa penghasilan awal tahun berpotensi menyebabkan lebih bayar pada akhir Desember.
Namun, Dwi mengatakan para karyawan tak perlu khawatir lantaran Kementerian Keuangan telah mengatur kewajiban perusahaan untuk mengembalikan kelebihan potongan pajak kepada pekerja. Kewajiban itu tercantum dalam Pasal 21 dan 22 PMK 168/2023.
Pengembalian lebih bayar pajak wajib dilakukan oleh perusahaan paling lambat setelah masa pajak terakhir. Pekerja tidak perlu mengajukan pengembalian pajak atau restitusi ke kantor pajak jika status lebih bayar murni disebabkan pungutan PPh 21 oleh pemberi kerja.
Penjelasan tersebut juga sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat mengenai pemeriksaan bila terjadi lebih bayar. Karena perusahaan telah diwajibkan mengembalikan kelebihan pungutan pajak, maka DJP tidak akan mengaudit wajib pajak yang statusnya lebih bayar.
“Tidak ada pemeriksaan dalam TER. Kalaupun ada kelebihan, itu langsung dikembalikan oleh pemotong pajak atau pemberi kerja. Jadi, status SPT tetap nihil sehingga tidak ada pemeriksaan,” ujar Dwi.
Menyambung hal itu, DJP juga mengatakan karyawan tak perlu khawatir perusahaan tidak mengembalikan kelebihan bayar pajak. Yoga menyebut seluruh data PPh 21 yang disetor perusahaan setiap bulan seluruh otomatis tercatat dalam aplikasi e-Bupot, dan data ini dapat diakses oleh karyawan bersangkutan.
Dengan begitu, karyawan dapat memantau data bukti potong dari pemberi kerja sehingga apabila terjadi lebih bayar, karyawan dapat mengetahui serta menagih pengembaliannya ke perusahaan.
Adapun bila perusahaan menyulitkan proses pengembalian pajak, karyawan bisa menempuh jalur hukum dengan tuntutan perusahaan yang tidak patuh pada aturan PMK 168/2023.