EKBIS.CO, BOGOR -- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) Indrajaya mengatakan, persoalan garam membutuhkan keseriusan pemerintah, menjadikannya sektor strategis, dan menumbuhkan daya saing petani garam.
"Menurut hemat saya persoalan garam dikarenakan kurang gigihnya kita memanfaatkan dan memperjuangkan potensi tambak garam yang kita miliki," kata Indra di Bogor, Sabtu (29/7).
Indra menjelaskan, impor garam terjadi karena jumlah produksi nasional tidak mencukupi tingkat konsumsi. Teknologi untuk memproduksi garam tergolong rendah (low tech), bukan teknologi tinggi (high tech). Sehingga masalah garam bukan di teknologi, tapi kemauan untuk mandiri atau swasembada yang lemah. Ia menyebutkan, tambak garam di Indonesia luas, tersebar di sejumlah daerah seperti Madura, NTT, Sulawesi Selatan dan lainnya. Tapi kurang serius menggarap potensi itu.
Kebutuhan akan garam nasional (2014) 3,61 juta ton (garam konsumsi 1,48 juta, industri 2,13 juta). Pada 2017 diprediksi kebutuhan garam nasional 4,5 juta ton (2,3 juta ton garam industri dan 2,2 juta ton garam konsumsi). Produksi garam nasional (2014) 2,19 juta ton (dari PT Garam 315 ribu ton, dari rakyat 1,888 juta ton. Luas lahan tahun 2015 25.830 hektare). "Mestinya kita serius mengurus dari proses produksi sampai ke distribusi," katanya.
Menurutnya, untuk meningkatkan produksi garam, pemerintah harus membantu para petani, karena kalau tidak dibantu, maka petani garam Indonesia tidak akan kompetitif. Selain itu, tambak garam yang ada saat ini perlu dibenahi, juga infrastrukturnya. Ia menjelaskan, sistem produksi garam di Indonesia menggunakan sistem evaporasi yakni air laut dialirkan ke dalam tambak kemudian air yang ada dibiarkan menguap setelah beberapa lama, akan tersisa garam yang mengendap di dasar tambak tersebut.
Menurutnya, dalam teknologi tersebut, perlu aliran air laut yang masuk ini diatur atau dijamin ke semua tambak.
Setelah dipanen juga perlu ada jalan untuk mengangkut garam tersebut. Selain itu, dasar tambak juga perlu diberi alas atau terpal agar tidak lagi seperti dulu yang tradisional, alasnya adalah tanah. "Nah ini semua butuh investasi awal yang perlu mendapat dukungan pemerintah," katanya.