EKBIS.CO, KUPANG -- Pengamat ekonomi Nusa Tenggara Timur Dr James Adam mengatakan Peraturan Bank Indonesia tentang pengenaan biaya isi ulang saldo (top-up) uang elektronik atau e-money jangan sampai hanya menguntungkan perbankan dan pemerintah dan merugikan nasabah atau konsumen.
"Aturan pengenaan biaya isi ulang saldo (top-up) uang elektronik atau e-money dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) pada akhir September ini jangan hanya menguntungkan perbankan dan pemerintah yang memiliki program gerakan non-tunai dan merugikan konsumen yang juga merupakan nasabah," katanya di Kupang, Rabu (20/9).
Ia mengatakan hal itu terkait muncul pendapat bahwa kebijakan biaya isi ulang saldo (top-up) uang elektronik atau e-money dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) pada akhir September ini diperkirakan tidak fair, karena hanya menguntungkan perbankan dan pemerintah yang memiliki program gerakan non-tunai dan merugikan nasabah, terutama yang berada di pedalaman.
Bahkan ada yang mempertanyakan apa manfaat penggunaan e-money dibandingkan dengan uang tunai (cash) bagi Indonesia yang masyarakatnya beragam dan tersebar hingga ke pelosok.
Sekalipun, katanya, pengenaan biaya isi ulang saldo e-money disebutkan untuk memberikan insentif kepada perbankan dalam menyiapkan infrastruktur pengadaan, namun regulasi isi saldo tersebut berupa Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) itu, harus fair, sehingga tidak hanya menguntungkan perbankan dan pemerintah yang memiliki program gerakan non-tunai dan merugikan konsumen.
Ia bahkan menyebut sejak wacana pengenaan biaya isi saldo uang elektronik ini beredar, kalangan industri pelaku jasa sistem pembayaran mengusulkan pengenaan biaya di kisaran Rp1.500-2.000 setiap kali isi ulang.
Sebagai gambaran, jumlah uang elektronik di Indonesia beredar per Juli 2017 mencapai 69,45 juta, naik 35 persen dibandingkan periode akhir 2016 sebanyak 51,2 juta. Di NTT, katanya, Bank Indonesia Kantor Perwakilan (KPw) Nusa Tenggara Timur mencatat aktivitas sistem pembayaran pada triwulan II-2017 menunjukkan adanya peningkatan yang cukup pesat.
Hal ini terlihat dari terjadinya "net-outflow" atau uang yang beredar lebih banyak dari uang yang disetor di NTT sebesar Rp1.356,41 miliar atau tumbuh 43,42 persen (yoy) dibanding triwulan II 2016 yang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat.
"Tingginya aktivitas ekonomi tersebut terlihat dari besarnya peningkatan penarikan/outflow hingga 30,95 persen (yoy) yang disebabkan oleh tingginya penarikan uang oleh nasabah maupun peningkatan setoran/inflow sebesar 14,97 persen (yoy) yang disebabkan oleh adanya penyetoran kembali nasabah dalam bentuk simpanan di bank," katanya.
Di sisi lain, kata dia, jumlah Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang disetorkan oleh perbankan di NTT masih mengalami penurunan 65,43 persen (yoy), lebih rendah dari Triwulan I 2017 yang juga mengalami penurunan sebesar 72,40 persen (yoy).
Penurunan setoran kemungkinan besar disebabkan oleh kualitas uang beredar yang mengalami peningkatan, sehingga setoran UTLE mengalami penurunan. Sementara itu, uang palsu (UPAL) yang ditemukan pada Triwulan II 2017 juga mengalami penurunan dari 403 lembar pada Triwulan I 2017 menjadi 16 lembar.
Temuan UPAL yang beredar hingga saat ini masih didominasi pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000. Seiring dengan penurunan transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) secara Nasional. Transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia di NTT juga ikut menurun. Volume kliring di NTT pada triwulan II 2017 mengalami penurunan sebesar 8,52 persen (yoy), dan nominal menurun sebesar 30,63 persen (yoy).
"Peralihan moda transfer diduga menjadi penyebab utama penurunan transaksi kliring secara nasional," katanya.