EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Kereta Api Indonesia (KAI) Persero diminta mencari pembiayaan dan tidak mengandalkan dana kewajiban pelayanan publik (PSO) yang diberikan pemerintah melalui Kementerian Perhubungan. Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Kementerian Perhubungan Zulmafendi mengatakan dengan memiliki keuangan yangb sehat, KAI diharapkan dapat mengelola berbagai sumber pendapatan yang tentunya tidak membebani masyarakat dan APBN.
Pernyataan tersebut menyusul batalnya pemberlakuan Peraturan Menteri 42 Tahun 2017 Tentang Tarif Angkutan Orang dengan Kereta Api Pelayanan Kelas Ekonomi untuk Melaksanakan Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) dan kembali ke PM 35 Tahun 2017. Menurut dia, KAI bisa menambal kekurangan biaya yang bisa digunakan untuk menutupi kekurangan untuk subsidi tarif kereta api jarak jauh kelas ekonomi.
"Harapan kita KAI bisa mengelolanya dengan baik. Mungkin dengan subsidi silang, 'sponsorship' atau dengan melakukan sumber pendanaan lain yang tidak membebani masyarakat dan APBN," katanya, Kamis (5/10).
Zulmafendi menjelaskan pemberlakuan kembali PM 35 Tahun 2017 setelah melalui evaluasi dan kajian. Dengan adanya pembatalan pemberlakuan PM 42/2017, maka KAI menalangi selisih tarif baru dan lama yang totalnya mencapai Rp 30 miliar dari Juli hingga Desember 2017. Beban tersebut dinilai bisa ditutupi dengan sumber lain di luar APBN, salah satunya melalui sponsor dan subsidi silang.
PT KAI telah mengumumkan rencana kenaikan tarif berdasarkan PM 42/2017 karena tiket per 1 Januari 2018 sudah bisa dibeli pada 1 November 2016. "Tidak ada penundaan, pemberlakuan tetap, tapi kita jual sesuai angkanya dengan PM 35/2017, jadi 'gap' (selisihnya) ditanggung dari Juli karena mulai pemberlakuan PM 42/2017 itu Juli," kata Direktur Utama PT KAI Edi Sukmoro.
Salah satu perjalanan KA Logawa yang mengalami penyesuaian tarif, yaitu KA Legawa rute Purwokerto-Surabaya Gubeng-Jember yang tarif barunya berdasarkan PM42/2017 Rp 74 ribu kembali ke semula PM35/2017 Rp 80 ribu.