EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia akan tetap memiliki kendali untuk mengatur holding BUMN tambang dalam empat hal setelah perusahaan induk itu resmi disahkan pada akhir November.
Direktur Utama PT Antam Tbk (ANTM) Arie Prabowo Aritedjo mengatakan kendali itu ada dalam saham dwiwarna atau Serie A milik pemerintah. "Saham Serie A mengendalikan empat hal, yakni penunjuk komisaris maupun direksi. Jadi nanti itu tetap dari pemerintah, bukan dari Inalum," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (24/11).
Kedua, kata Arie, adalah perubahan struktur permodalan. Ketiga, perubahan anggaran dasar yang akan langsung dikendalikan pemerintah dan keempat mengenai divestasi. "Jadi katakanlah kalau ada pertanyaan, bisa tidak Inalum menjual? Tidak bisa. Tetap (kendalinya) itu di pemegang saham Serie A," katanya.
PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) akan menjadi induk perusahaan (holding) BUMN industri pertambangan, sementara PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk, akan menjadi anak perusahaan (anggota holding).
Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Arviyan Arifin, dalam kesempatan yang sama, menjelaskan meski saham pemerintah di perusahaan anggota holding dialihkan ke Inalum, tetap ada saham dwiwarna di setiap perusahaan anggota holding. Pemerintah saat ini memegang saham mayoritas di ketiga BUMN tambang yang juga sudah "go public" tersebut, yaitu 65 persen di Antam, 65,02 persen di Bukit Asam dan 65 persen di Timah. "Jadi walau 65 persen saham pemerintah dialihkan, tetap ada saham pemerintah Serie A satu lembar yang kita sebut saham dwiwarna. Kendali pemerintah terhadap Antam, Bukit Asam, Timah dan Freeport itu 'double cover'," katanya.
Kendali berlapis itu, kata Arviyan, yakni dari pemerintah langsung yang memiliki saham dwiwarna dan melalui Inalum yang 100 persen dimiliki negara. "Jadi sudah 'double' kepemilikan pemerintah ini," ujarnya.
Hal-hal yang terkait saham publik, Arviyan mengatakan proses holding telah diketahui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek sehingga ia meyakini tidak ada kepentingan publik yang terganggu dengan aksi tersebut. "Rasanya tidak ada kepentingan publik yang terganggu, apalagi dirugikan. Dengan holding ini kami harap makin memperkuat masing-masing perusahaan. Kalau perusahaan kuat, investor senang dan akan nyaman. Mudah-mudahan itu berdampak positif ke harga saham masing-masing perusahaan," tuturnya.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan ketiga anggota holding itu akan tetap diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal-hal yang sifatnya strategis.
Dengan demikian, negara tetap memiliki kontrol terhadap ketiga perusahaan itu, baik secara langsung melalui saham dwi warna, maupun tidak langsung melalui PT lnalum sebagaimana tertuang dalam PP 72 Tahun 2016. Perubahan nama dengan hilangnya Persero juga tidak memberikan konsekuensi hilangnya kontrol negara dan kewenangan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam jangka pendek, holding yang akan resmi disahkan 29 November itu segera melakukan serangkaian aksi korporasi di antaranya pembangunan pabrik smelter grade alumina di Mempawah, Kalimantan Barat, dengan kapasitas sampai dengan 2 juta ton per tahun. Kemudian pabrik Ferro Nickel di Buli, Halmahera Timur, berkapasitas 13.500 ton per tahun, dan pembangunan PLTU di lokasi pabrik hilirisasi bahan tambang sampai dengan 1.000 MW.