EKBIS.CO, JAKARTA -- Baru dua per tiga dari rumah tangga Indonesia yang mendapatkan pangan sehat. Hal tersebut berdasarkan laporan yang dimiliki World Food Programe (WFP).
WFP Representative and Country Director for Indonesia Anthea Webb mengatakan, sisanya yakni sepertiga dari rumah tangga tersebut tidak mendapatkan pangan sehat karena pilihan. Maksudnya, mereka mau mengeluarkan uang untuk membeli pangan sehat tersebut atau tidak.
"Karena pangan sehat relatif mahal," katanya usai menandatangani Project Document di Kantor BKP, Selasa (28/11).
Diakuinya, harga pangan di Indonesia cukup mahal terutama pangan sehat. Hal itu yanng membuat masyarakat masih kesulitan dalam mendapat akses ke pangan ini.
WFP yang sudah ada di Indonesia sejak 1963 melihat Indonesia mengalami perkembangan cukup masif untuk ketahanan pangan sejak 1963. Terutama dalam hal ketersediaan pangan untuk semua orang.
Kini, dengan dilengkapi data yang akurat, WFP dan BKP berupaya mengatasi bagaimana pangan tersebut dapat diakses oleh semua masyarakat. "Termasuk di dalamnya isu stunting," ujarnya.
Kepala BKP Agung Hendriadi mengatakan, sepertiga dari rumah tangga yang belum mendapat akses pangan sehat akan didorong memproduksi pangan terutama pangan sehat bernutrisi salah satunya melalui Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Menurutnya, dengan adanya pangan di sekitar masyarakat tersebut, maka akan memudahkan mereka mendapatkan pangan yang sehat tanpa kesulitan akses.
"100 kabupaten dan 1.000 desa yang akan kita garap bebas stunting pada 2018," kata Agung.
Untuk itu, kini pihaknya bersama WFP tengah melakukan pemutakhiran Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/ FSVA) melalui penyempurnaan metodologi dan peningkatan kerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
Penyempurnaan yang dilakukan termasuk integrasi indikator ketahanan pangan yang diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS, disusun oleh BPS), yang menggambarkan pola konsumsi pangan tingkat rumah tangga, dan memberikan fokus yang lebih besar pada kerentanan terhadap kerawanan pangan di wilayah perkotaan.
FSVA sendiri telah digunakan oleh Kementerian/Lembaga (Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Bappenas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dll), serta organisasi lainnya dalam penentuan kebijakan dan target intervensi terkait dengan ketahanan pangan dan gizi.
Kedua, Pengembangan Sistem Informasi Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional (SIKPG) yang terpadu, melalui penyempurnaan sistem yang sudah ada.
Sistem Informasi Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional ini, diakui Agung sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, dimana Pasal 75 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi, yang dapat digunakan untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi pasokan dan harga pangan serta sebagai Sistem peringatan dini terhadap masalah pangan dan kerentanan terhadap kerawanan pangan dan gizi.
"Dukungan WFP akan berfokus pada masukan kebijakan, peningkatan kapasitas dan berbagi pengetahuan untuk mendukung investasi pemerintah pada sektor ketahanan pangan dan gizi," ujar dia.
Dengan pembaharuan kedua instrumen tersebut, pihaknya berharap penanganan kerentanan rawanan pangan bisa dilakukan lebih baik lagi, sehingga tidak ada lagi daerah rentan rawan pangan di tanah air.
Berdasarkan data FSVA 2015 dari 398 kabupaten, sebanyak 58 kabupaten masuk dalam daftar merah atau kategori rentan rawan pangan. Mayoritas daerah rentan rawan pangan berada di timur Indonesia.
Sementara sisanya merupakan kabupaten dengan kondisi pangan baik tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi.