EKBIS.CO, BANDAR LAMPUNG -- Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, salah satu keunggulan komparatif Indonesia pada jenis usaha akuakultur yakni budi daya perikanan. Namun, ironisnya pemanfaatan budidaya akuakultur yang potensinya sangat besar di Nusantara ini, hanya mampu tergarap sekitar 20 persen, selebihnya masih tertidur.
"Nilai ekonominya sekitar 200 miliar dolar AS, artinya itu besar sekali Rp 1.700 triliun. Padahal, APBN kita Rp 2.400 triliun apalagi dilihat dari potensi tenaga kerja. Persoalannya, sampai saat ini kita belum bisa menggunakan secara optimal, secara garis besar baru sekitar 20 persen," kata Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Prof Rokhmin Dahuri seusai pelantikan pengurus MAI Korda Lampung dan Seminar Nasional Akuakultur di Universitas Lampung, Sabtu (9/12).
Potensi yang besar tersebut, ia mengatakan artinya peluang bagi pemerintahan dan rakyat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak hanya sekitar lima persen saja, tapi bisa tujuh persen, karena lapangan kerja bisa tercipta lebih luas lagi. Salah satu peluang yang bisa cepat yakni dibudidaya, karena modal relatif kecil.
Ia memaparkan budidaya rumput laut modalnya Rp 40 juta lahannya dua hektare lalu hasilnya Rp 4 juta per orang per bulan. Kedua, rakyat daripada membuat komputer lebih siap budidaya.
Ketiga, panennya cepat, seperti rumput laut 45 hari sudah panen, kepiting soka enam bulan panen. Jadi solusi jangka pendek budi daya perikanan sangat menawarkan dan menjanjikan. Solusi jangka panjang, berbicara akuakultur bukan hanya protein tapi farmasi, untuk biofuel, jenis industri lain.
Kenapa terhambat, kata dia, karena regulasinya bukan seperti di negara maju pemerintah mendorong kemajuan dan pertumbuhan. Regulasi di zaman sekarang ini seperti LSM yang ekstrem kanan lingkungan, ini tidak boleh, itu tidak boleh.
Menurut dia, yang dilarang yang ekspor benurnya tapi benih dari Lombok yang lobster itu seharusnya disebarluaskan ke wilayah NKRI untuk dibudidayakan, itu menjadi solusi yang mujarab.
Rokhmin mengatakan, harga udang dalam 10 tahun terakhir ini masih relatif baik, sekitar lima dolar AS ukuran 60 ekor per kilogram, biaya produksi udang per kilogramnya sekitar Rp 37 ribu. Jadi, masih sangat bagus karena permintaan udang masih cukup bagus.
"Saya optimistis dari segi pasar bagus sekali. Lalu udang bisa diindustrikan, artinya produknya tidak hanya beku atau fresh, tapi bisa dijadikan produk lainnya. Peluang pasanya menganga tinggal kita kemampuan produksinya saja," katanya.
Mengenai penyakit udang yang dikeluhkan petambak, menurutnya hanya kurang disiplin. Ketika di kementerian, ia mengeluarkan SK impor indukan fanamed harus dari Hawai. "Tiba-tiba ada kongkalikong pejabat dan pengusaha yang ingin jalan pintas impor dari Thailand dan Cina, jadi ambruk," ujarnya.
Ia berharap setiap kabupaten mempunyai alat uji sebelum benur (udang) itu disebarkan diketahui apakah mengandung penyakit atau tidak. Benih atau benur itu menentukan 60 persen keberhasilan budidaya, kalau benurnya sudah segar, 60 persen sudah berhasil. Kalau benurnya sudah mengandung penyakit, 60 persen gagal. Kedua, layout tambak, antara input dan output harusnya di tempat berbeda.
Sekarang ini, ujar Rokhmin, banyak petambak masukkan dari satu tempat itu saja. Jadi, padahal pakan yang ditebarkan di tambak yang disebarkan tidak 100 persen jadi udang, ada yang jadi limbah (waste), yang mengeluarkan pencemarkan dirinya sendiri atau limbah organik.
"Saran saya, ketika air tambak itu keluar, jangan langsung dibuang ke sungai dan laut, harusnya dialirkan dulu ke tambak-tambak yang ada rumput lautnya, ada bandengnya, yang ada moluskanya, karena tiga jenis mahkluk hidup tersebut sifat makannya filterpidder (menyaring air), sehingga airnya yang keluar sudah bersih," papar Rokhmin.