EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meyakini penyaluran pembiayaan dari pasar modal pada 2018 mendatang akan lebih besar dibandingkan tahun ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi lebih baik pada tahun depan.
"Tahun depan mestinya lebih baik. Pembiayaan tetap akan besar karena di sini sebenarnya yang lebih cocok untuk pembiayaan infrastruktur baik pusat maupun daerah," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso usai peluncuran peraturan mengenai obligasi daerah, obligasi keuangan berkelanjutan atau obligasi hijau (green bonds), dan percepatan proses bisnis (e-registration) oleh OJK di Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Jumat (29/12).
Penyaluran pembiayaan melalui instrumen pasar modal mencapai Rp 276,5 triliun selama Januari hingga November 2017 atau naik 24 persen dibanding November 2016. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit perbankan yang hingga akhir tahun diperkirakan hanya akan mencapai delapan persen (yoy) pada akhir 2017.
Instrumen pembiayaan yang paling banyak digunakan di pasar modal adalah obligasi dengan penyerapan dana mencapai Rp 162,7 triliun. Kemudian instrumen saham sebesar Rp 73,8 triliun dan surat utang jangka menengah, sertifikat deposito, dan "Promissory Notes" yang secara kumulatif sebesar Rp 40 triliun.
"Di pasar modal itu, begitu kita keluarkan surat utang, sudah tidak ada risiko suku bunga, apalagi kalau sudah di-set fix. Jadi ini berbeda dengan kredit perbankan," ujar Wimboh.
Wimboh mengungkapkan, pada 2018, OJK akan lebih banyak mengeluarkan instrumen-instrumen baru di pasar modal dalam rangka pendalaman pasar keuangan, salah satunya instrumen lindung nilai (hedging).
"Tahun depan akan lebih banyak instrumen baru. Nanti kita ada instrumen 'hedging', terus instrumen lain yang kaitannya dengan perpetual , yang sedang kita garap. Nanti akan banyak sekali instrumen dalam konteks pendalaman pasar keuangan. Semua itu untuk mempermudah dan mendorong pembiayaan lebih banyak dari pasar modal," kata Wimboh.