Kamis 18 Jan 2018 14:21 WIB

Bagaimana Fikih Biaya Perjalanan Dinas yang Dipersingkat?

Red: Elba Damhuri
Pesawat bersiap lepas landas membawa penumpang yang hendak bepergian.
Foto: Pixabay
Pesawat bersiap lepas landas membawa penumpang yang hendak bepergian.

EKBIS.CO,   Fikih Islam terkait perjalanan dinas pegawai ke suatu tempat yang dipersingkat, dari hari yang lebih banyak menjadi lebih sedikit.

Pengasuh: Dr Oni  Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)

Pertanyaan:

Bagaimana pandangan fikih atau syariah Islam terkait pejalanan dinas pegawai instansi pemerintah atau swasta yang mendapatkan tugas dari kantornya untuk menyelesaikan tugas, rapat, ataupun workshop yang diagendakan beberapa hari, tetapi dipersingkat dari waktu yang ditentukan menjadi 1,5 hari dan mendapatkan biaya sama seperti tiga hari. Bagaimana pandangan fikih terkait biaya yang didapatkan tersebut?

Jawaban:

Dari aspek akad atau transaksi, dapat dipilah menjadi dua opsi, yaitu transaksi sewa manfaat (ijarah) atau transaksi imbalan tertentu atas pencapaian hasil (ju'alah). Opsi pertama adalah transaksi yang disepakati adalah ijarah.

Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, akad ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah juga berlaku untuk memperoleh jasa pihak lain guna melakukan pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah (ujrah/fee).

Berdasarkan transaksi ini, pegawai tersebut berhak mendapatkan fee atas jasa pekerjaan atau menyelesaikan pekerjaan tertentu berbasis harian. Oleh karena itu, jika dipersingkat, fee sah yang diambil adalah sejumlah hari yang riil ditunaikan. Sedangkan, sisanya dikembalikan kepada instansi atau kantor terkait yang memerintahkannya kecuali jika instansi tersebut merelakannya.

Opsi kedua adalah transaksi yang disepakati adalah imbalan tertentu atas pencapaian hasil (ju'alah). Berda sar kan Fatwa DSN-MUI No 62/DSNMUI/ XII/2007 tentang Akad ju'alah, ju'alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/'iwadh/ju'l) tertentu atas pen capaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.

Sebagaimana firman Allah, Penyeru-penyeru itu ber kata, "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menja min terhadapnya." (QS Yusuf: 72).

Dengan demikian, berdasarkan akad ju'alah, reward yang menjadi hak peserta/pegawai bukan berbasis harian, melainkan hasil. Jika waktu yang ditentukan tiga hari, tetapi output-nya sudah bisa selesai dalam dua hari, biaya tersebut sudah halal diterima dan dimanfaatkan pegawai. Jika ini yang diberlakukan, reward yang didapatkan pegawai atas progres yang dihasilkan walaupun waktunya di persingkat itu diperkenankan atau halal.

Berdasarkan ketentuan akad di atas, perlu diperjelas kontrak yang biasa ditandatangani, apakah transaksi sewa manfaat (ijarah) atau transaksi imbalan tertentu atas pencapaian hasil (ju'alah). Keduanya memiliki konsekuensi hukumnya.

Jika opsi ijarah sulit ditunaikan, sebaiknya jenis kontrak yang disepakati bukan berbasis harian, melainkan ha sil. Perlu diarahkan agar dari awal tran saksi yang disepakati berbasis hasil (target) dari kegiatan agar fee re ward yang didapatkan peserta itu halal.

Akan sangat baik, sebagai Muslim, memberikan teladan dan mendorong pemangku kebijakan dan pihak terkait agar memperjelas kontrak (substansi perintah). Kemudian, peserta kegiatan tersebut menuntaskan kegiatan dan hasilnya. Sehingga, meskipun harinya dipersingkat, hasil atau output-nya dapat direalisasikan sebagaimana yang disepakati. Wallahu a'lam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement