EKBIS.CO, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo, menyatakan BI senantiasa menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. Bank Indonesia secara konsisten dan berhati-hati merespons dinamika pergerakan nilai tukar rupiah yang sedang berlangsung untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Sehingga keberlangsungan pemulihan ekonomi dapat berlanjut.
"Respons Bank Indonesia ditempuh untuk mengelola dan menjaga fluktuasi (volatilitas) nilai tukar rupiah agar tetap sejalan dengan kondisi fundamental makroekonomi domestik, dengan juga memperhatikan dinamika pergerakan mata uang negara lain," kata Agus melalui siaran pers, Rabu (7/3) malam.
Agus menjelaskan, dengan perekonomian Indonesia yang semakin terintegrasi dengan sistem keuangan global, dinamika nilai tukar rupiah saat ini merupakan dampak langsung dari kondisi ekonomi global yang terus mengalami pergeseran. Kebijakan moneter global saat ini, khususnya di Amerika Serikat (AS), tengah memasuki era peningkatan suku bunga dan rezim kebijakan fiskal yang lebih ekspansif. Dampak dari kebijakan ekonomi AS tersebut berpengaruh terhadap perekonomian di seluruh negara, termasuk Indonesia, yang antara lain tercermin pada dinamika pergerakan mata uang negara-negara di dunia.
"Meski demikian, BI meyakini ketahanan perekonomian Indonesia saat ini, yang didukung oleh jalinan koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah yang semakin kuat, perekonomian Indonesia mampu menghadapi tantangan dari berbagai pergeseran ekonomi global tersebut," terangnya.
Gubernur BI menyebutkan, ada beberapa indikator telah mencerminkan perbaikan ketahanan ekonomi Indonesia. Di antaranya, inflasi dalam tiga tahun terakhir terus menurun dan dapat dijaga pada kisaran sasarannya. Inflasi sampai dengan Februari 2018 tetap terkendali sebesar 0,79 persen (ytd) dan 3,18 persen (yoy). Sampai dengan akhir 2018, inflasi diperkirakan berada pada kisaran sasaran sebesar 3,5 persen plus minus satu persen.
Indikator selanjutnya, defisit neraca transaksi berjalan semakin menurun dan berada dalam tingkat yang sehat sebesar 1,7 persen dari PDB pada 2017. Sejalan dengan pemulihan ekonomi domestik yang tengah berlangsung, impor bahan baku diperkirakan terus meningkat. Sehingga pada Februari 2018, diperkirakan masih terjadi defisit neraca perdagangan, meskipun lebih rendah dibandingkan Januari 2018.
"Meskipun neraca perdagangan di Februari 2018 mengalami defisit, Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan tahun 2018 defisit Neraca Transaksi Berjalan tetap sehat di kisaran 2,1 persen dari PDB, sejalan dengan dinamika pemulihan ekonomi domestik yang tengah berlangsung," imbuhnya.
Indikator lainnya, kondisi fiskal dalam kondisi yang semakin sehat, didukung kebijakan Pemerintah yang sesuai prinsip kehati-hatian (prudent) dan konsisten, serta reformasi struktural yang tengah berjalan untuk meningkatkan daya saing perekonomian.