EKBIS.CO, Diasuh Oleh: DR ONI SAHRONI MA, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, mohon dijelaskan perbedaan jual beli murabahah di bank syariah dengan kredit di bank konvensional. Selain itu, adakah landasan jual beli murabahah menurut syariah?
(Muhammad-Jakarta)
Wa'alaikumussalam wr wb.
Salah satu perbedaan produk bank konvensional dengan produk bank syariah adalah skema akad. Akad yang berlaku di bank konvensional adalah kredit berbunga. Bank konvensional bertindak sebagai kreditur, sedangkan nasabah adalah debitur.
Sedangkan, transaksi yang terjadi di bank syariah, salah satunya adalah jual beli murabahah. Bank syariah merupakan penjual dan nasabah adalah pembeli.
Dalam skema murabahah, keuntungan yang didapatkan bank syariah adalah margin atas transaksi jual dengan skema murabahah, sedangkan keuntungan yang didapatkan bank konvensional adalah bunga atas pinjaman.
Di bank konvensional, nasabah meminjam sejumlah uang tertentu untuk membeli barang atau peruntukkan lain. Dengan bermodal pinjam an yang telah diterimanya tersebut, nasabah mem beli barang, jasa, atau yang lainnya. Selanjutnya, nasabah melunasi pinjaman.
Hal tersebut berbeda dengan transaksi di bank syariah. Agar terjadi jual beli (bukan kredit), nasabah memesan barang terlebih dahulu kepada bank syariah. Berdasarkan pesanan tersebut, bank syariah membeli barang kepada supplier. Setelah barang menjadi milik bank syariah, maka dilakukan transaksi jual beli dengan akad murabahah. Keuntungan atas jual beli murabahah tersebut adalah margin yang diperbolehkan dalam Islam dan bukan bunga.
Secara detail, jual beli murabahah dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, nasabah memesan barang ke bank syariah. Dalam fikih, pesanan ini dikategorikan sebagai janji (wa'd) yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh nasabah, sebagaimana pendapat Ibnu Syubrumah, fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), dan standar syariah internasional AAOIFI.
Kedua, bank membeli pesanan nasabah kepada supplier. Menurut fatwa DSN, secara prinsip, barang harus menjadi milik bank. Jual beli tidak mesti tunai, tetapi minimal terjadi ijab kabul dengan segala akibat hukumnya. Antara lain, telah terjadi perpindahan kepemilikan dan risiko barang menjadi tanggung jawab bank syariah. Akan lebih baik jika transaksi antara bank syariah dengan supplier dilakukan secara tunai.
Ketiga, bank syariah melakukan jual beli murabahah dengan nasabah. Selanjutnya, nasabah melunasi kewajibannya secara angsuran.
Jual beli murabahah tersebut diperbolehkan (halal) menurut syariah. Sebagaimana fatwa DSN MUI, yakni akad bai' al-murabahah adalah akad jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. Akad jual beli murabahah boleh dilakukan. (Fatwa DSN-MUI No:111/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli Murabahah).
Jumhur (mayoritas) ulama telah sepakat terkait kebolehan akad murabahah. Sebagian ulama mendasarkan kebolehan murabahah juga pada kias (analogi) terhadap jual beli tauliyah. Jual beli tauliyah adalah seseorang menjual barang kepada orang lain dengan harga yang sama de ngan harga belinya, dan penjual menyampaikan harga belinya kepada pembeli.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW membeli unta untuk hijrah dari Abu Bakar dengan harga at par (tauliyah); ketika Abu Bakar ingin menghibahkan unta tersebut, Rasulullah mengatakan: "Tidak … saya akan bayar sesuai dengan harga pokok pembelian (tsaman)."
Dalam riwayat lain, Abu bakar berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya dua ekor unta yang telah aku siapkan keduanya untuk keluar hijrah, maka ambillah salah satunya." Maka beliau berkata: "Aku sudah mengambil salah satunya dan kamu terima harga jualnya." (HR Bukhari, Abu Daud, dan Ahmad). Wallahu 'alam.