EKBIS.CO, JAKARTA -- Pernyataan Indonesia akan bubar pada 2030 dinilai ekonom terlalu berlebihan. Meski harus diakui Indonesia masih punya pekerjaan rumah (PR).
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai pernyataan yang dilontarkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto soal analisis yang menyatakan Indonesia akan bubar pada 2030 lebih bernuansa politik.
Ia menganggap pernyataan itu berlebihan dan lebih kepada menebar ketakutan. "Kalau lihat data ekonomi, beberapa indikator memang masih belum optimal, tapi tidak juga berarti bubar," ujarnya, Kamis (22/3).
Survei internasional seperti yang dilakukan McKinsey memproyeksi Indonesia akan berada di lima besar dunia. Demikian juga laporan PwC yang menyebut, pada 2050 ekonomi Indonesia keempat di dunia.
Baca juga, Indonesia tak Bubar, Hanya Berpotensi Jadi Negara Gagal.
Kajian Fithrah saat di Tokyo tentang ASEAN 2030 menunjukkan Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi yang diperhitungkan bukan hanya di ASEAN, tetapi juga di Asia. Ini karena Indonesia menjadi lokus penting dari sisi ekonomi kala itu.
"Agak berlebihan kalau bicara bubar, justru sebaliknya, Indonesia akan makin penting,'' kata Fithrah melalui telepon pada Kamis (22/3).
Namun, memang, Indonesia punya banyak pekerjaan rumah. Salah satunya pertumbuhan ekonomi yang mengerut karena penopang pertumbuhan masih terbatas. Sebagian besarnya ditopang konsumsi. Sayangnya, konsumsi juga masih terbatas.
Maka, Indonesia harus mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru, salah satunya perdagangan internasional. Perdagangan internasional, kuncinya adalah pembangunan industri untuk menghasilkan produk bernilai tambah.
"Tapi kita mengalami deindustrialisasi. Maka dari itu, Indonesia butuh pembangunan infrastruktur untuk menopang industri dan mendorong ekspor," kata Fithrah.
Masalah lain adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Ekonomi Indonesia belum efisien. ICOR Indonesia masih lebih besar, bahkan dibanding negara ASEAN lain. ICOR Indonesia di atas enam, sementara yang lain di bawah lima.
Dari analisisnya, Fithrah mengatakan, ada tiga faktor pembangkit ekonomi Indonesia. Pertama adalah institusi. Dalam World Govermnent Index, Indonesia masih belum bagus. Karena itu, perlu reformasi.
Kedua, kualitas SDM. Secara relatif, Indonesia cukup tertinggal, bahkan di antara negara berkembang. Vietnam saja sudah masuk delapan besar. Produktivitas tenaga kerja relatif konstan, meski upah naik juga membuat Indonesia jadi tidak menarik untuk investasi.
Ketiga adalah infrastruktur, suka tidak suka. Infrastruktur memang tidak secara ansich (?) untuk menyerap tenaga kerja, tetapi bagaimana mendukung industri sehingga perlu cepat dan padat modal dengan teknologi tinggi. ''Memang itu pilihan. Perbaikannya pun memang butuh waktu,'' kata Fithrah.
Sektor jasa juga penting, tetapi yang perlu diperhatikan adalah transformasi struktural itu dari agraris, industri, baru jasa. Bila industri terlewat, ada tahap yang terlampaui dan membuat kondisi tidak berkelanjutan untuk negara sebesar Indonesia. Jepang dan Jerman melalui tahap itu secara alami.
Secara simultan, Indonesia juga harus membangkitkan industtri. Kalau tidak, akan muncul kerapuhan. "Tidak dihindari kita butuh teknologi, apalagi di era revolusi industri ke empat seperti ini dan itu bisa jadi sumber ekonomi baru," kata Fithrah.
Sebelumnya, dalam sebuah unggahan video di Facebook Partai Gerindra, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebut ada kajian yang menyatakan Indonesia akan bubar pada 2030. Sebab, ada ketimpangan penguasaan kekayaan dan tanah.
Begitu pula dengan perilaku elite politik saat ini yang merusak bangsa. Makin pintar dan makin tinggi kedudukan maka makin curang, makin culas, makin maling.