EKBIS.CO, JAKARTA -- Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) optimistis terhadap pertumbuhan sektor properti tahun ini. Pertumbuhan bisnis properti diperkirakan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Ketua Umum REI Soelaeman Soemawinata mengatakan, pertumbuhan sektor properti tahun lalu memang sangat rendah, sekitar tiga persen. "Tahun ini saya harap bisa 10 persen. Kalau optimisme kita bisa bergerak," kata Soelaeman kepada wartawan selepas acara penandatanganan nota kesepahaman antara BI dan REI di kompleks gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (2/4).
Menurut dia, banyak hal yang memengaruhi optimisme pertumbuhan properti tahun ini. Salah satunya perizinan. Saat ini, pemerintah telah memangkas berbagai perizinan. Dia berharap hal itu berdampak di sektor properti sehingga perizinan makin mudah.
"Karena semakin cepat implementasi, semakin cepat dipasarkan, semakin cepat dibangun, karena kita kan sudah janji dengam customer," katanya.
Menurut dia, beberapa pengembang juga menyatakan optimisme pertumbuhan sektor properti yang lebih baik tahun ini.
Pertumbuhan sektor properti akan didorong oleh sub sektor perumahan, terutama dari kelas menengah. Total kapitalisasi diperkirakan mencapai Rp 40 triliun dari semua sub sektor. Angka perkiraan tersebut naik 25 persen dibandingkan realisasi pada 2017 yang sebesar Rp 32 triliun.
Baca juga, Batam Dinilai Prospektif Bagi Bisnis Properti.
Dari sisi kebijakan regulator, Soelaeman menilai kebijakan Bank Indonesia sudah akurat, seperti kebijakan loan to value (LTV) yang berdasarkan melemahnya kondisi properti. Namun, dia juga berharap adanya kebijakan LTV spasial berdasarkan wilayah. Kebijakan tersebut membutuhkan data dan informasi yang akurat dari REI.
Menurut dia, kebijakan LTV spasial diperlukan sebab kondisi perekonomian wilayah di Indonesia berbeda-beda.
"Kalau LTV bisa dijalankan secara spasial atas dasar informasi dari kami yang harus kerja sama dengan Bank Indonesia dengan memberikan data akurat. Saya kira bisa lebih baik karena bisa mendorong properti di seluruh Indonesia karena karakter ekonomi kan berbeda-beda," ungkap Soelaeman.