EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan masih menghitung dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR Kemenkeu Scenaider Siahaan mengaku perlu ada perhitungan secara cermat terkait efek kurs pada utang pemerintah.
"Kalau sekarang masih terlalu dini untuk melihat efeknya, mengingat pembayaran kewajiban tersebar dari awal tahun sampai ke akhir tahun. Nanti setelah realisasi satu semester akan lebih mudah untuk melihat gambaran utuhnya," ujar Scenaider melalui pesan singkat pada Kamis (26/4).
Sebelumnya, Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan DJPPR Kemenkeu Erwin Ginting mengatakan, posisi utang pemerintah per akhir Maret 2018 adalah sebesar Rp 4.136 triliun. Komponen utang valuta asing (valas) adalah sebesar 109 miliar dolar AS dengan menggunakan kurs Rp 13.750 per dolar AS.
"Kalau stok utang valas yang sama dikonversi dengan kenaikan Rp 100 per dolar AS, maka total stok utang naik Rp 10,9 triliun," ujar Erwin ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (25/4).
Baca juga, BI Sebut Pelemahan Rupiah Sudah Berlebihan.
Ia mengaku, perubahan nilai tukar akan mempengaruhi pembayaran kewajiban utang yakni membayar pokok dan bunga utang.
Meski begitu, Erwin menilai, kondisi pelemahan rupiah saat ini belum mengkhawatirkan. Ia mengatakan, kondisi saat ini masih jauh jika dibandingkan dengan krisis moneter 1998 kala rupiah terdepresiasi lebih dari 100 persen, utang pemerintah didominasi valas, dan cadangan devisa terbatas.
"Kondisi sekarang kan jauh lebih baik. Utang Pemerintah dalam valas kurang dari 40 persen total utang. Sumber-sumber pembiayaan dalam negeri lebih banyak. Cadangan devisa kita juga mencapai 126 miliar dolar AS," ujarnya.
Erwin juga menyebut, pelemahan rupiah tidak berdampak signifikan pada peningkatan utang jatuh tempo tahun ini."Utang jatuh tempo dalam valas akan terdampak, tapi tambahan dalam rupiahnya relatif kecil. Utang jatuh tempo tahun 2018 sekitar Rp 394 triliun dan mayoritas dalam rupiah," ujarnya.