Sabtu 12 May 2018 12:31 WIB

Bertani di Lahan Gambut tak Harus Bakar Lahan

Pengolahan lahan gambut harus dilakukan dengan hati-hati.

Red: EH Ismail
Pertanian di lahan gambut.
Foto: Humas Balitbangtan.
Pertanian di lahan gambut.

EKBIS.CO, Gambut merupakan ekosistem yang unik dengan keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dan khas. Namun, gambut juga ekosistem yang rentan karena mudah terganggu/rusak dan sulit untuk dapat dipulihkan kembali. Salah satu sifat lahan ini adalah irreversible drying (kering tak balik) yang berhubungan dengan  kemampuannya dalam menyerap, menyimpan, dan melepaskan air.

Ketika keseimbangan ekologisnya terganggu karena mengalami reklamasi, maka kemampuannya dalam menyimpan air tidak maksimal lagi, yakni tinggal 50 persen saja, sehingga mudah terbakar. Gambut berasal dari tumpukan bahan organik yang jenuh air, sehingga proses dekomposisi tidak berjalan dengan sempurna. Keadaan ini mengakibatkan gambut menjadi miskin mineral dan sangat masam. Salah satu cara untuk memperbaiki sifat lahan gambut adalah dengan menambahkan pupuk kompos.

Hal itu disampaikan peneliti sumber daya lahan dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah (BPTP Kalteng) Kementerian Pertanian (Kementan) Dr Anang Firmansyah saat memberikan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pertanian Lahan Tanpa bakar (PLTB) di Palangka Raya, beberapa waktu yang lalu.

Kegiatan Bimtek yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Perlindungan Perkebunan Kementan itu bertujuan untuk memberikan edukasi dan pemahaman meningkatkan pencegahan kebakaran lahan dan kebun. Peserta merupakan petugas yang berasal dari beberapa provinsi yang mempunyai lahan gambut, seperti Kalteng, Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Barat (Kalbar), Sumatra Selatan (Sumsel), dan Riau.

Menurut Anang, pengolahan lahan gambut harus dilakukan dengan hati-hati. PLTB dengan menggunakan mekanisasi (eskavator) biayanya akan sangat mahal, yakni bisa mencapai Rp 15 juta sampai Rp 20 juta per hektare. Berbeda dengan cara manual yang hanya Rp1,8 juta per/ha yang tentunya perlu waktu dan proses.

Cara manual yang dilakukan adalah dengan mencabut pohon yang ada, kemudian meratakan tanahnya. Setelah rata, barulah dilakukan pembajakan. Teknologi seperti itu tentunya lebih terjangkau oleh petani.

“Selain itu, dengan PLTB kita juga berupaya mengedukasi, meningkatkan kesadaran dan mendorong masyarakat untuk membuka dan mengolah lahan pertanian dengan cara yang lebih ramah lingkungan,” kata Anang.

Saat ini, Anang melanjutkan, sedang dilakukan penelitian untuk menguji sejauhmana pemanfaatan teknologi PLTB dengan Pemerintah Daerah Kotawaringin Barat Kalteng dengan demplot seluas 5 hektare di Desa Sabuai Kecamatan Kumai dan Kumpai Batu Atas Kecamatan Arut Selatan.

Peneliti dari Balai Penelitian Tanah (Balit Tanah) Badan Litbang Pertanian mengujikan teknologi PLTB menggunakan sistem pelapukan material dari tanaman dan kayu. Sistem kerjanya melalui decomposer. Diharapkan melalui  penelitian ini menjadi terobosan untuk menyatukan keinginan pemerintah dan masyarakat dalam hal pengolahan lahan. Karena saat ini kebijakan pemerintah tidak membolehkan membakar dalam pengolahan lahan pertanian. Namun, hal tersebut sangat bertolak belakang dari cara berladang atau bertani masyarakat di Kalimantan. Bagi masyarakat, pembakaran tersebut diperlukan. Selain untuk membuka lahan, pembakaran dinilai lebih mudah dan murah guna menyingkirkan kayu besar juga untuk menetralkan tingkat keasaman tanah,

Pada saat Bimtek PLTB juga disampaikan upaya untuk meningkatkan kesuburan lahan gambut dengan menambahkan bahan organik dan kompos. Pembuatan pupuk kompos bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan  produksi tanaman. Praktik diselenggarakan di laboratorium lapangan lahan gambut di Desa Tumbang Nusa Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau. Saat itu dijelaskan tentang cara membuat kompos secara sederhana, yaitu dengan prinsip bahwa untuk meningkatkan kesuburan lahan harus ada sumber bahan organik yang kaya nitrogen, seperti bahan organik muda (pucuk/daunan muda/tumbuhan air kalau terlalu basah dikering anginkan dulu) dan bahan kaya Carbon, yaitu bahan organik yang tua (daun/dahan tua, serbuk gergaji sekam padi, dan lain-lain). Lalu, diperkaya dengan pupuk kandang, urin sapi, dan lain-lain bisa ditambah pupuk urea, pupuk SP-36 dan KCl. Bisa juga ditambah mikroba dari produk botolan (effective microorganism).

Setelah itu, disusun berlapis-lapis yang banyak. Fungsinya agar panasnya bisa mencapai 70 derajat Celcius. Idealnya, setinggi 150 cm dan lebar 250 cm. Tutup dengan terpal. Kelembaban dijaga jangan sampai terlalu kering atau terlalu basah. Setelah satu bulan sekali, diaduk dan cek kelembabannya. Jika terlalu kering harus tambah air. Kompos yang matang umumnya memerlukan waktu 3 bulan pembuatannya, berciri berwarna hitam, remah, tidak berbau, dan tidak terlihat lagi bentuk bahan asalnya. (Dedy Irwandi/Balitbangtan)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement