EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada 2019. Pada tahun politik itu, Presiden Joko Widodo yang kembali mencalonkan diri jadi presiden di Pilpres itu memasang sejumlah target indikator perekonomian.
Presiden Joko Widodo menargetkan, pertumbuhan ekonomi pada 2019 sebesar 5,3 persen. Pertumbuhan itu dinilai bisa cepat terwujud dengan mendorong pertumbuhan di kawasan timur Indonesia, kawasan perbatasan, serta berbagai daerah lain yang masih tertinggal.
"Selain itu memperkuat usaha ultra mikro, usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, sekaligus menekan ketimpangan antardaerah serta memperkecil kesenjangan antar kelompok pendapatan, juga memperkuat ekonomi desa, dan mengurangi kemiskinan secara, lebih fokus juga cepat," tutur Presiden Jokowi dalam Sidang Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Kamis, (16/8).
Dari sisi sektoral, berbagai sektor ekonomi yang mempunyai nilai tambah tinggi dan menciptakan kesempatan kerja perlu didorong maju. Sektor swasta pun perlu didorong agar semakin berperan sehingga mampu menciptakan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Dengan semakin berkembangnya kelas menengah, menurutnya, pasar domestik juga menjadi lebih kokoh. "Penguatan industri pengolahan yang mampu menciptakan nilai tambah perlu didorong dan dikembangkan caranya memperkuat industri hulu hingga hilir," kata Jokowi.
Ia menambahkan, pada 2019, kebijakan fiskal dan APBN dirancang dengan tema 'APBN Mendukung Investasi dan Daya Saing Melalui Pembangunan Sumber Daya Manusia'. Tema itu, kata dia, diwujudkan melalui tiga strategi utama.
Pertama, mobilisasi pendapatan realistis dengan tetap menjaga iklim investasi. Kedua, peningkatan kualitas belanja agar lebih produktif dan efektif melalui kebijakan value for money untuk mendukung program prioritas. Ketiga, mendorong efisiensi serta inovasi pembiayaan.
"Maka iklim investasi harus terus diperbaik. agar efisien dan terukur. Melalui deregulasi, debikrotisasi, serta simplifikasi," katanya.
Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budy Waluyo menilai target pertumbuhan ekonomi tahun depan masih realistis. Menurutnya, Indonesia masih mampu mencapai angka pertumbuhan itu. Kendati suku bunga acuan BI kini sudah cukup tinggi di 5,50 persen.
Dody memperkirakan, neraca transaksi berjalan (CAD) pada 2019 akan defisit sekitar 2,5 sampai tiga persen. "Jadi maksimal defisit transaksi berjalan tahun depan sebesar tiga persen," katanya. Perlu diketahui, neraca transaksi berjalan merupakan parameter yang mencatat arus dana dari dalam ke luar negeri.
Sementara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019, pemerintah mengasumsikan nilai tukar rupiah tahun depan sebesar Rp 14.400 per dolar AS. Asumsi sebelumnya sebesar Rp 13.700 sampai Rp 14.400 per dolar AS.
Dody mengaku optimis dengan pergerakan kurs rupiah tahun depan. Diyakini mata uang Garuda tersebut akan bergerak lebih stabil di sekitar level Rp 14.400 per dolar AS.
"Dari sisi perkembangan global, gejolak perekonomian belum selesai," ujar Dody saat ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis, (16/8). Ia menjelaskan, bila rupiah terus tertekan, maka stabilitas keuangan domestik bisa terganggu.
Ia menegaskan, BI terus melakukan intervensi baik di pasar valas maupun obligasi. Instrumen suku bunga pun digunakan demi stabilkan nilai tukar rupiah.