EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah secara resmi memperluas penerapan kewajiban pencampuran biodiesel 20 persen (B20) yang berlaku mulai 1 September 2018. Kebijakan tersebut, merupakan salah satu jurus pemerintah untuk bisa mengurangi defisit neraca perdagangan khususnya dari impor bahan bakar minyak.
“Kewajiban pencampuran bahan bakar solar dengan B20 telah dimulai tahun 2016, tapi penerapannya belum optimal. Maka, acara ini diharapkan menjadi titik tolak pemanfaatan biodiesel 20 persen di semua sektor secara menyeluruh,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam acara Peluncuran Perluasan Mandatori B20 di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Jumat (31/8).
Sasaran program tersebut adalah sektor yang masih belum optimal menggunakan B20 seperti sektor transportasi non-public service obligation (PSO), industri, pertambangan, dan kelistrikan. Pemerintah berharap tidak ada lagi peredaran solar tanpa pencampuran biodiesel (B-0).
Melalui optimalisasi dan perluasan pemanfaatan B20 ini, diperkirakan akan terdapat penghematan devisa sekitar 2 miliar dolar AS hingga akhir 2018. Mekanisme pencampuran B20 akan melibatkan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM) yang menyediakan solar, dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) yang memasok FAME (Fatty Acid Methyl Esters) atau bahan baku pembuatan biodiesel.
Darmin menegaskan, apabila BU BBM tidak melakukan pencampuran dan BU BBN tidak dapat memberikan suplai FAME ke BU BBM akan dikenakan denda yaitu Rp 6.000 per liter. Produk B0 hanya diizinkan untuk Pertadex atau Diesel Premium.
Pengecualian juga diberlakukan terhadap pembangkit listrik yang menggunakan turbin aeroderivatif, alat utama sistem senjata (alutsista), serta perusahaan tambang Freeport yang berlokasi di ketinggian.