EKBIS.CO, JAKARTA -- OJK mengakui, fintech syariah mulai banyak bermunculan. Walau demikian, regulator belum berencana membuat aturan khusus mengenai fintech syariah.
“Jadi sementara aturan izinnya sama dengan fintech konvensional. Aturan fintech OJK berlaku universal,” tegas Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar saat dihubungi lewat aplikasi obrolan.
Sebagai informasi, saat ini otoritas sudah memiliki Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi atau Peer to Peer (P2P) Lending. Hanya saja, OJK berencana mengeluarkan aturan baru fintech dalam waktu dekat yakni peraturan Inovasi Keuangan Digital (IKD).
Kabarnya, dalam aturan tersebut, ada tiga tahapan pendaftaran fintech. Pertama pencatatan ke OJK, kedua regulatory sandbox, terakhir pendaftaran. Proses regulatory sandbox merupakan proses untuk menguji sistem fintech yang nantinya menghasilkan rekomendasi ke OJK.
“Jadi itu sebagai payung hukum, semua fintech termasuk P2P akan lewat sana. Kalau syariah kan prinsipnya sama dengan konvensional hanya berbeda akadnya, kalau bisnis proses dan tata kelolanya sama. Maka kita open terima semua fintech baik syariah maupun konvensional semua kita dukung,” kata Sukarela.
Ia menambahkan, sampai Juli lalu baru ada satu fintech syariah yang tengah mengajukan perizinan ke regulator. “Sepertinya belum ada tambahan,” ujarnya sambil mengingat.
Di sisi lain, DSN MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor 117/DSN-MUI/IX/2018 bagi fintech financing syariah pada Juli tahun ini. Fatwa itu berisi ketentuan umum MUI, meliputi penyelenggaraan fintech tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah seperti riba, gharar, dan haram. Akad dalam fintech syariah juga harus selaran dengan akad mudharabah serta musyarakah. Kemudian, ragam produk fintech syariah berupa pembiayaan pengadaan barang juga pembiayaan untuk pegawai.
“Kita telah keluarkan fatwa fintech syariah. Itu sebagai pondasi untuk Islamic fintech berkembang di Indonesia,” ujar Anggota DSN MUI Adiwarman Karim. Presiden Direktur Karim Consulting ini menjelaskan pula, DSN MUI menggunakan prinsip pengembangan industri fintech syariah yang disebut yasiru wala tuasiru. Artinya, memberikan kemudahan ke fintech berkembang agar semakin banyak di Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (ASFI) Ronald Yusuf Wijaya sebelumnya menyatakan proses perizinan bagi fintech syariah memang lebih lama. “Apalagi ketika DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia) dan OJK belum memiliki divisi khusus untuk menangani fintech syariah namun sekarang sudah beres karena MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 117/DSN-MUI/IX/2018 terkait fintech,” ungkap Ronald.
Kendati demikian, kata dia, pengajuan izin tetap ke OJK. Hanya saja, kini tengah didiskusikan perlu tidaknya sertifikasi DSN atau cukup izin dari OJK saja.
“Ya daripada capek-capek MUI kasih sertifikasi tapi tetap harus izin ke OJK. Buat apa? Maka idealnya OJK dulu baru kalau sudah oke ke tahap selanjutnya untuk pastikan akad yang digunakan fintech syariah sesuai. Nah di sini ASFI diminta sebagai perpanjangan tangan OJK,” tuturnya.
Ke depannya, kata Ronald, asosiasi bakal menjadi gerbang pertama untuk menyaring bisnis perusahaan fintech syariah yang akan mendaftar di OJK. Selanjutnya, ASFI akan memberikan rekomendasi ke OJK. Bila sudah disetujui OJK, barulah fintech tersebut ke DSN MUI guna mendapatkan sertifikasi.
Ia menambahkan, rencana tersebut kini tengah didiskusikan dengan seluruh stakeholder terkait. Walau belum difinalkan, namun kemungkinan alur pendaftaran tersebut bagi fintech syariah diberlakukan tahun ini.
“Memang seolah proses perizinan bagi fintech syariah lebih sulit, tapi memang harus seperti ini agar platform-nya terkualifikasi. Buat kami ini jadi kekuatan ketika kami promosikan fintech syariah depan publik,” katanya optimistis.