Rasio utang terhadap PDB pada Agustus 2018 juga lebih tinggi dibandingkan rasio pada Juli 2018 yang sebesar 29,74 persen. Meski begitu, persentase tersebut masih di bawah batas 60 persen terhadap PDB seperti yang tertera dalam ketentuan di UU Keuangan Negara.
Komposisi Surat Berharga Negara (SBN) sampai akhir Agustus 2018 mencapai 81,18 persen dari total utang pemerintah. Hal itu lebih besar dibandingkan tahun lalu yang sebesar 80,71 persen. Kenaikan tersebut sejalan dengan strategi pemerintah untuk melakukan pendalaman pasar obligasi.
Komposisi pinjaman dalam total utang pemerintah terdiri atas pinjaman luar negeri Rp 815,05 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp 6,25 triliun. Sementara, untuk komposisi SBN terdiri atas surat berharga negara denominasi rupiah Rp 2.499,44 triliun dan SBN valas Rp 1.042,46 triliun.
Komposisi SBN terdiri atas surat berharga negara denominasi rupiah Rp 2.499,44 triliun dan SBN valas Rp 1.042,46 triliun. "SBN rupiah lebih besar dibandingkan SBN valas. Dengan demikian, risiko fluktuasi nilai rupiah terhadap posisi utang pemerintah dapat diminimalkan," kata Luky.
Menurut Luky, utang pemerintah yang mengalami kenaikan salah satunya disebabkan faktor eksternal seperti penurunan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing lainnya, terutama dolar AS.
Di sisi lain, surat berharga syariah negara (sukuk) juga mengalami kenaikan karena semakin banyak kementerian dan lembaga yang melihat potensi dan menggunakan Sukuk Negara sebagai salah satu sumber pembiayaan proyek.
Selain faktor eksternal, pertumbuhan utang pemerintah juga disebabkan oleh dijalankannya strategi front loading yang dilakukan pemerintah, dengan menarik pembiayaan di awal pada saat suku bunga di pasar masih rendah sebelum kenaikan Fed Fund Rate, yang direncanakan akan beberapa kali di tahun ini. Sehingga, beban utang dapat semakin minimal. (antara, ed: debbie sutrisno).