EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Eksekutif Bidang Cashloan Asosiasi Financial Technology (Aftech) Indonesia Sunu Widyatmoko mengakui, keberadaan perusahaan fintech ilegal merugikan industri fintech secara umum. Sebab, ini terkait dengan persepsi, di mana masyarakat masih menganggap semua perusahaan fintech sama.
Sunu menjelaskan, masyarakat Indonesia saat ini masih belum bisa membedakan antara perusahaan fintech yang teregistrasi dan tidak. Permasalahan ini menjadi tantangan asosiasi dan regulator atau pemerintah yang mampu menghambat perkembangan industri fintech. "Kalau kita ingin membangun fondasi kuat ke depannya, ya yang ilegal ini harus disingkirkan," ucapnya dalam Fintech Media Clinic by Aftech di Jakarta, Kamis (22/11).
Sunu menambahkan, perusahaan-perusahaan fintech ilegal tersebut telah menciptakan business practice yang tidak manusiawi. Mereka kebanyakan menggunakan teknologi tidak sesuai dengan asas ketimuran yang dimiliki Indonesia. Misalnya, menagih pinjaman kepada borrower (peminjam) dengan cara yang mempermalukan di kehidupan sosial.
Sunu menilai, praktik tersebut bisa berkembang di Indonesia dikarenakan adanya adopsi teknologi dan cara berbisnis dari luar negeri yang belum diselaraskan dengan adat Indonesia secara maksimal. "Teknologi ini kan datangnya bukan dari Indonesia, melainkan dari luar negeri yang diimplementasikan di sini. Khususnya dari Eropa Timur dan Cina," tuturnya.
Di kedua daerah tersebut, Sunu menambahkan, memiliki budaya yang berbeda dengan Indonesia khususnya dari segi penagihan. Karena tidak tersaring secara maksimal, praktik itu terbawa hingga ke Indonesia dan menimbulkan kerugian kepada masyarakat dan industri fintech secara umum.
Sunu menjelaskan, untuk anggota Aftech sendiri, praktik tersebut telah disaring melalui Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Lending). Pedoman ini dijadikan sebagai acuan perusahaan fintech yang menyelenggarakan pinjaman online dalam menjalankan bisnis secara bertanggung jawab.
Seluruh anggota Aftech wajib menjalankan praktik bisnis sesuai dengan pedoman tersebut. Apabila terbukti melanggar, perusahaan akan dikenakan sanksi berupa peneguran hingga pencabutan izin operasional.
Tapi, Sunu mengakui, pembasmian perusahaan fintech ilegal tidak akan berjalan maksimal tanpa keterlibatan pemerintah, penegak hukum dan masyarakat. Ia menganjurkan semua pihak untuk aktif mengawasi, karena saat ini menjadi turning point industri fintech di Indonesia. "Kami juga tidak ingin fintech selalu dipersepsikan negatif akibat perusahaan ilegal dan kriminal ini," ucapnya.
Sunu mengapresiasi kinerja pemerintah yang sudah sigap mengatasi kasus ini dengan take down perusahaan fintech ilegal. Ia berharap, koordinasi dapat terus ditingkatkan guna membasmi perusahaan ilegal secara lebih maksimal.
Sementara itu, Ketua Harian Aftech Indonesia Kuseryansyah optimistis, industri fintech di Indonesia akan terus berkembang dalam beberapa tahun mendatang. Khususnya untuk kategori peer to peer (P2P) lending dan pembayaran (payment gateway).
Pertumbuhan in dinilainya semakin besar ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan dua peraturan terkait fintech. Dua regulasi itu adalah Peraturan OJK No 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan Peraturan OJK Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital.
Kuseryansyah mengatakan, pertumbuhan industri fintech ini disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, meningkatnya penggunaan telepon seluler, kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia, khususnya milenial. "Dengan potensi yang besar ini, industri fintech dapat memainkan peran penting dalam membantu meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia," ujarnya.