EKBIS.CO, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Maret lalu, mengadakan amandemen kontrak karya (KK) dengan enam perusahaan tambang yang beroperasi di luar Pulau Jawa. Perusahaan itu, antara lain PT Natarang Mining (Provinsi Lampung), PT Kalimantan Surya Kencana (Kalimantan Tengah), PT Weda Bay Nickel (Maluku Utara), PT Mindoro Tiris Emas (Sumatra Selatan), PT Masmindo Dwi Area (Sulawesi Selatan), dan PT Agincourt Resources (Sumatra Utara).
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengatakan, penandatanganan amandemen tersebut merupakan amanat dari Pasal 169 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Bambang menambahkan, aturan itu menyatakan, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya UU tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak. Dengan ditandatanganinya enam amandemen KK itu, lanjut Bambang, maka total sudah 288 KK yang telah diamandemen.
Aktivitas tambang Batu bara (ilustrasi)
Agung menambahkan, dalam melakukan renegosiasi kontrak, kedua belah pihak saling beritikad baik. Baik pemerintah dan perusahaan sama-sama semangat untuk dapat menambah kontribusi bagi pembangunan nasional demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. "Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, penerimaan negara pada enam KK yang menandatangani naskah amandemen secara agregat telah meningkat sekitar 20 juta dolar AS per tahun (atau sekitar Rp 290 miliar dengan kurs Rp 14.500 untuk 1 dolar AS," ujar Agung dikutip Republika dari laman resmi Kementerian ESDM, Selasa (27/11).
Sebelumnya pada Januari 2018, Kementerian ESDM terlebih dahulu mengadakan penandatanganan naskah amandemen KK dan PKP2B terhadap 19 perusahaan tambang. Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, dengan adanya amandemen KK itu, diharapkan ada penambahan penerimaan negara sebesar 27 juta dolar AS atau sekitar Rp 391 miliar per tahun dari sektor tambang.
Tidak mengherankan, sektor pertambangan menyumbang kontribusi besar bagi pemerintah Indonesia. Hingga 16 November 2018, torehan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batubara (minerba) sudah melebihi target dalam APBN 2018, yaitu sebesar Rp 41,77 triliun. Angka itu lebih tinggi 23,1 persen dibandingkan target yang dibebankan sebanyak Rp 32,1 triliun.
Bambang mengklaim, capaian PNBP sektor minerba yang melebihi target menandakan perusahaan semakin tertib membayar kewajibanya. Hal itu lantaran pengawasan yang dilakukan Kementerian ESDM sangat ketat dalam melakukan perbaikan sistem fasilitas e-PNBP, sehingga penagihan sudah menggunakan sistem daring.
Berlakunya UU Minerba juga membuat pemerintah terus berupaya mengendalikan ekspor bahan tambang mentah, agar diproses terlebih dahulu di dalam negeri. Sehingga, barang yang dikirim ke luar negeri mendapatkan nilai tambah melalui program hilirisasi industri. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara CEO Forum di Jakarta, Selasa (27/11), sempat menyinggung adanya teknologi yang bisa memberikan nilai tambah bagi industri tambang.
Jokowi mencontohkan, pengolahan komoditas batubara kelas rendah dan medium yang bisa diubah menjadi gas dan minyak. Kalau hal itu dapat dilakukan perusahaan dalam negeri maka nilai jual ekspor bisa meningkat daripada hanya melepas produk mentah. Menurut Jokowi, tujuan hal itu juga untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan Indonesia yang semakin mengkhawatirkan.
“Hilirisasi dan industrialisasi benar-benar digenjot dan digalakkan. Utamanya sektor hasil-hasil tambang, sehingga kita tidak perlu lagi kirim (ekspor) bahan baku mentah. Ini harus dihentikan!" ajak Jokowi di depan ratusan CEO ternama Indonesia. Jokowi pun mengingatkan, pelaku usaha untuk menerapkan program peningkatan nilai tambah bahan baku ekspor minerba supaya bisa semakin memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara dan membuka lapangan kerja yang semakin luas.
Penopang ekonomi daerah
Sebagai negara yang dilimpahi kekayaan alam luar biasa, Indonesia tidak lepas dari industri pertambangan, yang meliputi 17 item, meliputi batubara, emas, biji besi, aspal, timah, hingga nikel. Hampir setiap lini kehidupan bangsa ini secara tidak langsung dipengaruhi sektor pertambangan dan industri turunannya, yang menyumbang lapangan kerja cukup banyak.
Tidak mengherankan, berbagai investor asing tertarik untuk menanamkan dananya di Indonesia untuk mengolah sumber daya alam (SDA), yang ditujukan memenuhi permintaan ekspor. Dampaknya, tidak sedikit daerah yang perekonomiannya tumbuh dan ditunjang sektor pertambangan. Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), misalnya yang merupakan penyumbang batu bara terbesar di Indonesia, pertumbuhan ekonominya didorong hasil penjualan ekspor batu bara dan bijih besi.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kalsel melansir, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2018 wilayah tersebut tercatat 4,64 persen atau melambat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,07 persen. Ternyata, hal itu dipengaruhi melemahnya ekspor, khususnya batubara seiring terkoreksinya harga di pasar dunia. Namun, BI memprediksi, perekonomian Kalsel berpeluang meningkat di triwulan III seiring peningkatan kinerja ekspor yang mengacu perkembangan harga batubara dari 93,63 dolar AS per ton menjadi 107,83 dolar AS per ton pada Agustus 2018.
Mengacu data itu, sektor tambang sangat erat kaitannya dengan akivitas ekonomi sebuah daerah yang berimbas pada kesejahteraan masyarakat. Tidak salah kalau dikatakan, performa perusahaan tambang yang mambaik bisa menjadi salah satu penopang perekonomian daerah untuk maju dan berkembang.
Salah satu perusahaan tambang di bidang nikel, yaitu PT Vale Indonesia juga sudah berkontribusi banyak dalam pembangunan perekonomian di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Senior Manager of Communications PT Vale Indonesia, Budi Handoko mengklaim, ekonomi masyarakat Luwu Timur sangat bergantung dari aktivitas pertambangan. Hal itu lantaran kontribusi PT Vale kepada Pemkab Luwu Timur dan masyarakat sudah tak terhitung lagi.
"Kabupaten Luwuk Timur sendiri PAD yang diterima sebagian besar mungkin dari PT Vale. Bahkan pemasukan Sulawesi Selatan dari Vale porsinya sangat besar," ungkap Budi kepada Republika. Berdasarkan catatan resmi Pemkab Luwu Timur, APBD 2018 tercatat sekitar Rp 1,5 triliun.
Budi menerangkan, kunci sukses perusahaan juga berkat cara mengelola pertambangan berkelanjutan (sustainable mining), yang keberadaannya memberi manfaat masyarakat sekitarnya. Sehingga, meski sudah berusia setengah abad, kehadiran PT Vale Indonesia turut membantu pemerintah pusat dan pemda, serta masyarakat dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan.
Karena itu, porsi pembangunan di Luwuk Timur sebagian besar disumbang dari pajak dan dana pertanggungjawaban sosial (CSR) PT Vale Indonesia.